***
"Justru hal yang sederhana'lah yang akan kukenang."
***
"Ken ..." lirihku, tatapan kita mulai beradu. Ia masih membisu, menatapku penuh sambil menunggu ucapanku berikutnya.
Aku membatin, "Oke, saatnya kuhitung,"
"Satu,"
"Dua,"
"Tiga."
Sorot senja mulai turun di wajahnya yang damai. Suatu bayangan hitam besar berkelebat di belakang Ken, membuatku tersadar dan ...
"Kita pulang naik apaaa?" Aku merengek dengan puppy eyes yang spontans kuberikan, setelahnya aku membuang pandangan. Sebenarnya aku tak kuasa lagi menatapnya lama. Jiwaku terlalu meronta-ronta dibuatnya. Tubuh pun serasa menjadi sebuah jeli yang terbentuk menjadi manusia, sangat lemas. Daripada itu pun, bus di belakang Ken sudah melaju begitu saja.
Ken membalikkan badan lalu berseru, "Ayo kita kejar!" teriaknya sembari menarik tanganku erat.
Aku tersentak sekaligus terpaku sebelum ia membawaku lari. Semilir angin sore yang menyapu rambut dan wajahku menemani genggaman kita kali ini. Wajahnya yang panik namun tetap terlihat tenang itu membuatku ingin terus memandanginya, genggaman yang kuat dan hangat, "Begini 'kah rasanya digenggam orang yang kita cinta?" benakku.
Sementara Ken terus berteriak memanggil supir bus agar berhenti, "Pak, tunggu, Pak!"
Bus melaju dengan cepatnya tanpa memperdulikan kami. Alhasi kami tertinggal. Ken terengah-engah setelah berhenti berlari, sesekali ia terbatuk-batuk sambil membungkukkan dan menumpu badannya dengan tangan yang ia jadikan tiang di lututnya. Sementara, dibalik itu ia masih menggenggamku. Baca dengan baik! Masih menggenggamku!
"Haghhh, aku baru kali ini lari sejauh ini," ucapnya sembari ngos-ngosan.
Aku yang lumayan merasa capai pun menoleh ke belakang. Padahal kita berlari hanya beberapa langkah. Dari Halte sampai depan Cafe yang sering kukunjungi. Aku terkekeh, ini rasanya sangat lucu, tapi dia begitu realistis, itu yang kusukai darinya. Ken menoleh dan tertawa terbahak-bahak tanpa sebab, jujur aku belum pernah melihat ia tertawa seperti ini, "Kenapa?" tanyaku.
"Kau lucu!" jawabnya sembari melepas genggamannya lalu berjalan masuk ke dalam Cafe; setelah ia menyadari di sampingnya terdapat sebuah tempat penambah energi.
"Kamu harus traktir aku kali ini," tutur Ken saat kita tengah menilik-nilik Cafe; berniat untuk mencari tempat duduk yang nyaman.
"Hah?!" ceplosku.
Ken berbalik padaku, tepatnya ia menunduk, melihat kepadaku. Dari sini aku sadar jika aku begitu pendek dan mungil di sampingnya. Tinggiku hanya sedada di tubuh Ken, begitupun mentok. Eh, tidak, tidak! Bukan aku yang pendek, tapi Ken yang terlalu tinggi!
Dia berkata, "Pertama, kita ketinggalan bus gara-gara kamu ngomong lama. Kedua, aku gak punya uang," ucapnya datar saat di 'alasan kedua'. Ia begitu polos dengan kejujurannya.
Aku terkekeh, "Baiklah, ayo!" seruku sembari duduk di tempat biasaku, sudut kanan Cafe dekat jendela.
"Tempat duduk yang nyaman," pungkas Ken.
Seorang Barista pun datang menghampiri kami. Lelaki dengan sebuah alat tulis kecil di genggamannya itu berkata, "Wah, sekarang pelanggan setia kami sekarang bawa orang," cocotnya.
"Kamu sering ke sini, Hai?" tanya Ken saat ia menurunkan bokongnya di kursi.
"Eum-"
Belum juga aku mulai bicara, Barista itu malah nyerocos lagi, "Iya! Dia sering mampir ke sini, bahkan hampir setiap sore; pulang sekolah. Buat nulis," jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have a Crush on You [COMPLETED]
Novela JuvenilSeberapa lamanya kamu bisa mencintai seseorang dalam cara paling sepi? Satu bulan? Satu tahun? empat tahun? Atau sampai sepuluh tahun? Ah tidak, ini ceritaku! Aku mencintanya seumur hidupku. *** Haina. Seorang penulis SMA tingkat akhir yang tero...