***"Jika tak ingin bercerita, menangislah sampai tertidur"
***
Darren menenangkanku ditengah-tengah badai hatiku. Ia memelukku, mengusap rambut dan punggungku. Tak lupa ia kembali mengalunkan melodi "Dandelions" hingga kuterlelap di bahunya setelah menangis. Aku tak menceritakan kegelisahan dan kesedihanku. Tak tahu harus dimulai dari mana. Pun tak tahu apa yang harus kuceritakan padanya.
"Jika tak ingin bercerita, menangislah sampai tertidur, nanti, saat terbangun duniamu akan kembali membaik," itu katanya.
Dia sangat tenang dan menenangkan. Aku ingin terus menerus memeluk raganya meski badaiku telah mereda.
"Darren ... Apa cara agar kita bisa mengikhlaskan sesuatu?" ucapku sebelum tertidur.
Darren tersenyum dengan tatapan yang menerawang ke atas jendela, "Melupakannya,"
"T-tapi semakin kita berusaha melupakan, ingatanku semakin menjadi-jadi, hal itu semakin lekat bersemayam di otakku," lanjutku sedikit terisak saat melihatnya.
"Makanya, jangan berusaha untuk melupakannya, biar waktu yang menghapus ingatan itu," ucapnya sembari mencubit hidupku.
"Jika kamu merasakan kesakitan di hatimu, dan itu membuatmu tak bisa melupakannya, maka hal yang perlu dilakukan ialah tidur," sambung Darren.
Aku bersender lagi di bahunya, "Apa kamu sering melakukan itu?"
"Terkadang" balasnya sebelum aku terlelap.
...
"Huaaa!" Aku menguap saat terbangun dari bahu Darren. Kulihat ia tengah menatapku dari balik cermin yang masih berdiri dekat papan piano. Ia tersenyum ketika melihatku terbangun, aku terkekeh, "Kenapa menatapku seperti itu?"
Kini tatapannya beralih langsung ke hadapanku, tepat ke mataku, "Kamu cantik apalagi saat tertidur,"
Ucapannya sontak membuatku membulatkan mata. Apa aku salah dengar? Ia hanya memujiku dalam hal biasa, bukan? Baiklah, lupakan. Kita hanya seorang teman.
"Ah, jam berapa ini?" Aku celingukan.
"Jam sembilan malam, ayo pulang" ajak Darren seraya menarik tangan kananku.
Aku sedikit terkejut mendengarnya, sudah tiga jam aku tertidur di bahu itu. Namun tak ada pergerakan sama sekali saat aku terlelap. Malah-malah ia hanya menatapku lewat cermin di samping. Tubuhnya sangat kuat, padahal aku jarang melihatnya mengikuti jam pelajaran olahraga, bahkan mungkin aku sama sekali belum pernah melihatnya melakukan kegiatan olahraga. Tubuhnya terlihat sangat kurus, tapi bisa menumpu kepalaku selama tiga jam tanpa bergerak, itu sangat kuat. Ntahlah, ia begitu baik. Sangat baik. Lebih dari baik.
"Makasih, ya."
"Buat?"
"Buat bahu kamu."
Langkahnya terhenti, "Sebagai gantinya, kamu aku anter pulang, kita pulang bareng, kamu gak bisa nolak. Sekarang, bus udah lewat, lewat lagi pas tengah malem. Gak baik!" serunya sambil mencolek kecil hidungku.
Aku mengangguk dan kembali berterimakasih padanya.
Dalam hidup, ada kalanya seseorang membuat kita hancur. Membuat kita memutus harapan. Namun, dibalik itu ada juga yang bisa menyembuhkannya, baik itu orang baru atau orang yang dahulu. Terkadang kita tak menyadarinya. Kalaupun bukan orang, mungkin angin kecil yang berhembus lewat celah jendela bus saat terjadinya kemacetan, atau kucing yang mengeong dekat tong sampah, atau juga hanya daun kering yang terinjak di trotoar. Itu semua bisa menjadi penyembuh bagi hati yang hancur. Bahkan lebih banyak lagi. Lebih banyak lagi obat penyembuh untuk hati yang hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have a Crush on You [COMPLETED]
JugendliteraturSeberapa lamanya kamu bisa mencintai seseorang dalam cara paling sepi? Satu bulan? Satu tahun? empat tahun? Atau sampai sepuluh tahun? Ah tidak, ini ceritaku! Aku mencintanya seumur hidupku. *** Haina. Seorang penulis SMA tingkat akhir yang tero...