#19

100 9 2
                                    

19 September.

Jam menunjukan pukul 09.48, namun Akaashi masih belum bangun. seorang perempuan yang sedang menunggunya untuk bangun sedikit khawatir kepada Akaashi.

"Akaashi, Koutaro menghubungi nee-chan tadi pagi, ia beralasan bahwa ponselnya mati dan tidak menemukan dimana casannya." Lirih perempuan itu, Arumi.

"Akiara nee-chan sibuk hari ini, mungkin ia akan datang sore atau malam, atau malah tidak akan datang?" Lirih Arumi yang masih melihat kearah Akaashi, tepat saat Arumi selesai berbicara Akaashi bangun dari tidurnya.

"Mh, Eh? Arumi-san.?" Lirih Akaashi yang melihat Arumi berada di sebelahnya.

"Ah, selamat pagi Akaashi."

"Pagi juga.."

"Kau mau dengar berita baik?"

"Aku sudah mendengarnya.."

"Baguslah, Koutaro akan izin dan kesini siang nanti."

"Apa perkataan yang Bokuto-san ucapkan?"

"Aku juga Bokuto kau tau? Koutaro sangat sedih, ia ingin menjengukmu pagi hari, tapi nee-chan melarang Koutaro"

"Sudah, nanti saja ngobrolnya. Kau butuh minum? Atau mau sarapan? Suster tadi sudah membawakan sarapan untukmu"

"Um, minum?"

"Kubantu." Ujar Arumi lalu memberi segelas air dan membantu Akaashi untuk minum.

Beberapa saat setelah Akaashi minum, tidak ada percakapan di antara mereka, Arumi lebih cenderung pendiam meski kenal dengan Akaashi lumayan lama.

"Apa kau tidak mau sarapan?" Tanya Arumi yang melihat Akaashi fokus melihat jendela.

"Umm, aku tidak lapar.." lirih Akaashi lalu melihat kearah Arumi.

"Lapar tidak lapar kau harus tetap mengisi perutmu, Akaashi."

"Iya Arumi-san.."

"Mendung ya..? Apa sebentar lagi akan hujan?"

"Mendung belum tentu hujan, Semoga saja tidak hujan. Sekarang kamu harus mengisi perutmu dulu" ujar Arumi, Akaashi menganggukan kepalanya.

Saat Akaashi selesai makan, ia kembali menatap keluar jendela, entah apa yang ia lihat, namun perasaannya menjadi lebih tenang saat melihat langit mendung.

"Arumi-san, menurutmu jika aku pergi, apa yang akan terjadi kepada Bokuto-san.?"

"Kenapa kau memikirkannya?"

"Aku.. lupakan saja.." lirih Akaashi sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

"Mungkin Koutaro akan sedih dalam waktu yang lama, tidak. Bahkan memang ia akan sangat terpukul saat kau pergi-"

"Aku bisa menjamin hal itu"

"Arumi-san, kepalaku sakit.." lirih Akaashi.

"Tidur dulu saja, Koutaro akan kesini sekitar jam 12."

"Benarkah?" Tanya Akaashi, setidaknya meski kepalanya sangat sakit, ia merasa senang kekasihnya menjenguknya nanti.

"Iya, tentu saja." Ujar Arumi, Akaashi melihat kearah jendela rumah sakit dengan khawatir.

"Tapi sekarang masih mendung, bagaimana jika siang nanti hujan.?" Tanya Akaashi kepada Arumi sambil menunjuk kearah jendela itu.

"Koutaro mungkin membawa payung, kau tidak perlu khawatir"

"Uhm.. baiklah.." lirih Akaashi, Arumi membantu Akaashi untuk merendahkan kasur rumah sakit itu.

"Kau istirahat saja, Aku izin pergi keluar nanti" ujar Arumi sambil mengelus surai gelap milik Akaashi.

"Terimakasih, Arumi-san.."

"Panggil nee-chan saja"

.
.
.
.
.

12.48

Akaashi terbangun dari tidurnya, bahkan setelah Arumi menyuruhnya tidur kepalanya masih merasa sakit.

"Sepi.. sekarang jam berapa?"

"12.48 ya.. ke-"

BRAKK!

Pintu kamar inap Akaashi di banting keras, bahkan Akaashi yang setengah sadar sangat terkejut mendengarnya.

"Kaa-san..?"

"Kaa-san udah gak tahan ya sama kamu. Kaa-san udah jodohin kamu sama Suzumeda kan? Kamu anak tunggal Keiji. Gak mau bawa nama baik keluarga? Apa kata orang orang nanti, hah!?" Bentak sang ibu.

"Kaa-san, tapi ini pilihank-"

Hampir saja sebuah tamparan jatuh di pipi tirus Akaashi, namun sebuah tangan memegang tangan sang ibu, tentu kekuatannya tidak sebanding dengan perempuan yang bermarga Akaashi itu.

"Tolong untuk tidak memukul anak anda sendiri" ujar seseorang itu dengan nada yang benar benar marah, Bokuto Koutaro.

"Apa maumu!?" Kesal Akaashi Akari.

"Sudah saya katakan, Tolong jangan memukul anak anda sendiri, nyonya Akaashi." Tegas Bokuto kepada Akari.

"Ini urusan saya dengan anak saya, tolong diam saja."

"Anak anda, kekasih saya, tolong jangan menyakiti Keiji. Bukankah kalian selalu memberikan perhatian khusus (baca: sangat kasar.) Kepada Keiji?"

Akari tidak membalas apapun, ia hanya diam, melihat keadaan anaknya yang hampir menangis, dan melihat Bokuto yang mendekat kepada Akaashi.

"Tidak perlu takut Keiji-kun. Aku disini, maaf karna kehadiranku telat." Bisik Bokuto tepat di telinga Akaashi lalu ia memeluk Akaashi sekaligus mengelus punggung milik Akaashi, berusaha untuk menenagkannya.

Akari terdiam.

Ia melihat anaknya yang di peluk dan di beri rasa nyaman oleh putra bungsu dari keluarga Bokuto, dirinya yang sebelumnya memiliki hasrat untuk menampar Akaashi jadi mengurungkan niatnya dan melihat betapa seriusnya Bokuto kepada anaknya, Akaashi Keiji.

"Apa kau serius dengan Keiji?" Perkataan itu tidak sengaja keluar dari mulut Akari.

"Tentu. I love him more than I love my own life." Ujar Bokuto, wajahnya sangat serius, bahkan Akaashi bisa merasakan hawa yang mengerikan didekatnya.

"Keiji"

"I-iya, kaa-san..?"

"Keluar. Dari keluarga ini."

736 words
Mikora3, 11/07/23

i'll spend my last breath for you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang