17. Harus izin dulu

1.1K 268 250
                                    

Malam minggu, tandanya kalian absen voter di sini hahahaha dapat nomor berapa nih?











"Selamat pagi, Tante Jane!"

Sapaan Eden menyambar rungu Jane selayak denting bel lonceng yang digantung pada teras saat musim panas. Sayangnya sensasi menenangkan dan amikal itu tidak bertahan lama. Udara yang bergerak mengelilingi Jane mendadak berubah saat bocah itu mengerutkan kening.

"Lho, tunggu," jedanya saat melirik August yang turut berhenti tepat di belakang Jane. "Kok, Tante Jane keluar dari kamar Papa?"

August yang menutup pintu menyahut di belakang sana. "Memangnya kenapa?"

"Ya, tidak boleh!" Eden berkacak pinggang. "Papa kan, galak. Nanti kalau Tante Jane jantungan karena takut bagaimana?"

August merotasikan bola matanya lalu mendecak tipis. Jane yang mendengarnya saja sampai bingung harus bagaimana mulai menjelaskan.

"Ayo jelaskan pada Eden!" Si bocah itu tidak menyerah. "Bagaimana bisa Tante Jane keluar dari kamar Papa?"

Tenggorokan Jane tiba-tiba kering, matanya mengedip cepat dengan pipi dan telinga yang memanas cepat. Sementara jauh di belakang Eden, Jimmy menahan senyum sembari membawa cangkir kopi dan terlihat tidak ingin ikut campur.

"I—itu, kemarin—"

Jane seketika terdiam, lidahnya nyaris tergigit sebab August tiba-tiba mendaratkan dagunya pada pundak Jane. "Karena Tante Jane tidur dengan Papa, tentu saja keluar dari kamar yang sama," jeda August dengan senyum dan tatapan yang meremehkan pada sang putra. "Salah kamu sendiri, kenapa membiarkan Tante Jane tidur sendiri?"

"Tidak, tuh! Eden niatnya mau tidur di ruang tengah sama Tante Jane. Paman Jerami itu memantrai Eden biar tidak keluar kamar."

August malah menertawakan remeh. "Bocah, sih. Jadi gampang dibohongi."

Otak Jane mendadak kosong melompong, embusan napas August yang menyapu lehernya berhasil membuat bulu kuduk menegang. Astaga, Jane rasanya ingin mengubur diri hidup-hidup. Percakapannya bersama August tadi malam Jane percayai hanya sebagai mimpi, dan kenyataan memelantingkan konklusinya secara sempurna.

"Ih, Papa!" Eden membentak kesal, tangannya dengan cepat meraih tangan Jane. "Tante Jane jangan dipegang-pegang begitu, dong! Harus izin Eden lebih dulu."

Dengan sadar, sengaja dan menahan kekuatannya, August menepuk tangan kecil Eden agar melepaskan Jane. "Enak saja, kamu itu yang harus izin Papa kalau mau pegang-pegang Tante Jane."

Eden terperangah, alisnya diangkat, matanya melebar, tangannya menempel di tengah dada. Pokoknya dramatis setengah mati. "Bagaimana bisa ini terjadi?!" Eden menoleh ke arah Jeremy, berseru. "Paman Jerami! Tante Jane sedang dikuasai oleh Papa!" Eden berlari ke arah Jeremy. "Cepat bantu Eden mempertahankan kandidat Mama baru agar tidak kabur!"

Jane benar-benar tertekan, tertekan oleh perdebatan Eden dan Ayahnya. "Tidak ada yang kabur, Eden. Aku tidak ke mana-mana."

"Itu tidak menjamin, Tante Jane." Eden menolak satu pendapat. "Kalau Eden ini memang kuat, dapat didikan langsung dari Kakek Gigi untuk melawan Papa. Kalau Tante Jane kan, belum dapat ilmu khusus menghadapi Papa."

Aduh, ini benar-benar di luar kontrol, Jane rasanya ingin menggelinding saja sampai keluar rumah. Bagaimana Eden mengomel, dan Jeremy yang terbahak-bahak sampai sempoyohan, membuat Jane menggosok keningnya tidak percaya.

Tapi yang menjadi masalah utama adalah August Harrington sendiri, yang malah menikmati pemandangan pagi sembari tetap bersandar pada pundaknya. Ingin menampar August kesannya tidak sopan, tapi terlalu lama seperti ini juga tidak baik untuk Jane sendiri.

August's First July ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang