Listrik kembali menyala tepat pukul 5 pagi. Dan seketika mereka beranjak berdiri untuk membereskan barangnya masing-masing dan berlalu begitu saja menuju kamar.
Pagi ini sedikit berbeda. Karena terhitung sudah seminggu mereka tinggal seatap, dan baru pagi ini, tidak ada suara teriakan ketika membangunkan para penghuni rumah ataupun teriakan kesal karena dibangunkan dari tidur nyenyaknya secara paksa. Tidak ada teriakan yang menyuruh mereka segera turun dan menyantap sarapan. Tidak ada suara panci ataupun barang-barang yang jatuh karena mereka ceroboh atau buru-buru. Tidak ada teriakan karena kehilangan kaos kaki atau dasi dan berakhir saling menuduh.
Nyatanya, menyatukan 7 anak 'kembar' dari dua pasangan yang berbeda itu mampu mengubah rumah menjadi layaknya kandang monyet.
"Kulkas kosong. Nanti malam kita belanja, oke? Ntar Gue bilang Mama buat transfer uang."
Suara manusia pertama pagi ini terdengar. Jian menutup kembali pintu kulkas setelah sebelumnya berinisiatif untuk memasak sarapan karena Navan tidak juga turun untuk memulai rutinitasnya.
"Di rak kayaknya ada stok sereal sama susu. Kita sarapan itu aja." Navan berjalan menghampiri Jian.
Sedangkan yang lainnya hanya terduduk di meja makan. Haekal dan Juan yang meletakkan kepalanya dengan lesu diatas meja, Joan yang hanya membolak-balik lembaran buku tanpa minat, juga Rendra yang menggambar di ipad miliknya.
Jian meletakkan tujuh mangkok warna-warni ke atas meja makan, dan menempatkannya ke depan para saudaranya juga kursi kosong tempat Jevan juga Navan.
Navan mengapit dua kotak sereal dikedua sisi tubuhnya, sedang kedua tangannya membawa 2 kotak susu.
"Tuangin sereal sama susunya sendiri-sendiri," katanya sambil membuka salah satu kotak sereal dan menuangkannya ke dalam mangkok.
Tepat setelah itu, terdengar langkah Jevan menuruni anakan tangga.
Mereka duduk tanpa sepatah kata, hanya fokus pada mangkoknya masing-masing.
Sebuah kunci melesat ke samping mangkok Jian, sedangkan Jian hanya menatap kunci itu lalu menatap Jevan dengan pertanyaan tanpa kata.
"Kunci gerbang sama pintu utama. Pulang sekolah kita ada urusan.
"Oh," Jian meraih kunci itu, "nanti kita pulang sekolah juga harus pergi."
"Kemana?"
"Rahasia."
"Ok. Tapi jangan pulang kemalaman."
"Cieee khawatir ya?" Jian tersenyum mengejek lalu terkikik sendiri.
Jevan mendengus, "kalo diculik mba kunti depan rumah kosong sebelum gerbang perum, Gue gabisa bantu."
Jika Jevan sudah mulai melawak seperti saat ini, biasanya mulut saudaranya akan langsung ramai. Entah karena tertawa, atau mengejek Jevan karena lawakannya yang tidak bermutu dan cenderung pasaran.
"Lo pergi sampai jam berapa?"
Jian dan Joan saling bertatap, "mungkin habis Maghrib. Nanti sholatnya di jalan," Joan menjawab.
Nana mengangguk, "kalo gitu langsung aja ke SM. Gue gatau kalian perlu apa aja. Jadi, nanti beli keperluan sendiri-sendiri. Yang sampe sana duluan nunggu yang belum sampe. Belanjanya harus bareng, soalnya struk belanjanya buat laporan biar gak dikira korupsi uang belanja."
"Buset. Agak gak masuk akal."
"SM?"
"Iya, Supermarket Makmur deket persimpangan Jalan Jikjin. Disana semuanya ada, kok."
🏡
Mobil kembar Agatha lebih dulu sampai di parkiran kawasan IPA, disusul motor Vario 150 yang dikendarai Jevan dengan Rendra di boncengannya juga berhenti tepat di samping mobil. Agak berbeda karena biasanya Rendra mengendarai motornya sendiri bersama Haekal, namun kini dia meminta untuk dibonceng oleh Jevan yang biasanya kemana-mana selalu bersama Navan.
"Habis ashar, setengah 4 Gue jemput Lo disini,"
"Ya," Rendra memberikan helm yang tadi dia kenakan kepada Jevan, lalu berlalu begitu saja.
Baru saja Jevan ingin kembali menghidupkan mesin motor untuk melaju ke parkiran IPS, Jevan merasa motornya sedikit berat. Ketika berbalik, dia menemukan Juan yang hanya menyengir di jok belakang.
"Ngapain?"
"Nebeng,"
"Lo sama Jian kan juga anak IPS, ngapain nebeng Gue?"
Juan mempoutkan bibirnya, "tapi kan kelasnya ada di bagian pojok utara, jadinya Jian parkir di utara. Kelas kita kan di pojok selatan, jauh tau."
Jevan menghela nafasnya, lantas mulai melajukan motornya. Membiarkan Juan duduk cengar-cengir di jok belakangnya.
"Yey!"
🏡
"Halo Rendra!"
Sobri mendengus kesal ketika Rendra gak menjawab sapaannya. Berdiri di belakang pintu kelas dan menyambut teman-temannya setiap pagi itu udah jadi salah satu kegiatan gak biasa- yang udah jadi kebiasaan Sobri sejak SMP.
"Kalo gak inget hari ini tanggal 14, udah Gue katain Lo, Ren." Gumanan Sobri yang masih terdengar oleh Joan memang sejak dari parkiran tetap berjalan di belakang Rendra.
"Emang kenapa tanggal 14?"
Sobri menatap Joan yang baru saja memberinya pertanyaan lalu menariknya keluar kelas.
"Lo pengen tau?"
"Ya kalo Gue gak pengen, kenapa Gue harus tanya?"
"Kenapa Lo pengen?"
Joan berdecak, "ya emang Gue gak boleh pengen tau tentang saudara Gue?"
Sobri menatap Rendra dari jendela kelas. Rendra duduk di bangkunya lalu mengeluarkan iPad dan mulai menggambar disana.
Sobri mengulum bibirnya, lalu menghela nafasnya.
"Tiga tahun lalu, ada kejadian gak terduga yang nimpa salah satu kembarannya waktu camping. Sekitar pukul 1 malam, keadaan perkemahan belum kondusif, gue waktu itu lagi temenin Rendra yang keadaannya masih kacau. Dan tiba-tiba," Sobri menghentikan kalimatnya dan menatap Joan yang masih mendengarkannya dengan seksama.
"Kita dapet kabar kalau mobil yang dikendarai bunda Rendra dan satu kembarannya yang lain- yang emang waktu itu gak ikut camping karena lagi demam buat nyusul ke perkemahan, dikabarkan terlibat kecelakaan. Dan... bunda Rendra meninggal di tempat. Lo tau kan kecelakaan yang terjadi di jalan menuju Desa Sungaisari? Kecelakaan yang waktu itu sampai diliput dimana-mana karena ada truk bermuatan yang remnya blong dan berakhir nabrak 2 mobil dan menewaskan 2 orang juga 2 orang lainnya luka? Emang sih, gak ada berita tentang siapa yang jadi korban di kecelakaan itu. Tapi, bunda Rendra adalah salah satu korban tewas dan saudaranya luka-luka. Untuk siapa-siapanya, Lo bisa tanyain sendiri ke mereka."
Joan terdiam. Kalimat panjang yang diluar dugaan tentang saudaranya itu keluar dari mulut Sobri. Walaupun Joan memang menduga sejak dia bangun di pagi tadi, jika hari ini adalah hari yang sama-sama menyakitkan sama seperti yang dia alami dengan dua kembarannya- mungkin mereka juga kehilangan orang yang mereka sayangi.
Namun, Joan tidak menduga jika bagaimana mereka bisa kehilangan orang yang mereka sayangi itu karena penyebab yang sama, alasan pergi di malam dingin juga dengan tujuannya yang sama, di waktu dan tempat yang sama, dan dengan orang di kursi pengemudi dan penumpang yang juga sama-sama memiliki posisi istimewa di masing-masing hidupnya juga Rendra.
Mata Joan memanas, dan dia berkata tanpa sadar, "satu orang meninggal dunia dan satu orang luka-luka yang lain itu... Papi dan kembaran Gue."
halo! ajalskkskhkladfgh aku hampir lupa kalau ada janjii😔 rank ku kemaren gak diumumin guys alhamdulilah. tapi aku agak betmut karena ada 2 matpel yg nilainya turun masing-masing 1 angka, yaa walaupun hampir yg lainnya naik banyak angka jadi rerataku tetep naik drastis. tapi 2 matpel yg nilainya turun tuh emg nilainya udh jelek, jadi tambah jelek, makanya jadi betmut😔😔
1 chapter lagi menyusul yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi! My Twins!
Fanfiction00L NCT DREAM & TREASURE "Ayah mau nikah lagi!" "Oh, kalo itu gue udah tau dari lama. Lo nya aja yang ketinggalan be-" "Sama janda anak tiga, seumuran sama kita. DAN MEREKA KEMBAR!"