Sering kali Jeongin pergi untuk ruqyah mandiri. Tergantung pemuka agama mana yang mau membantu, ia hanya akan pasrah asalkan tindak tanduk penolongnya tidak terkesan nyeleneh apalagi mencurigakan. Sudah sekitar 24 ulama yang memberi doa-doa ruqyah, harusnya Jeongin setidaknya merasa panas atau tersengat listrik baru bisa dinyatakan ruqyah telah berhasil. Entah ulama ataupun pendeta, mereka semua sama. Bukan Jeongin yang merasa sakit, justru sang pemuka agama kerap kali tersungkur serta terpental. Sebab iblis yang merasuki Jeongin adalah iblis keras kepala, tak sepadan dengan orang-orang yang coba menghadapinya.
Jauh langkah kaki membawa berlari, Jeongin kian merasa jenuh oleh pemikiran sendiri. Ia bukanlah insan yang taat pada sang maha kuasa, lantas membawa pergi pikiran negatif bahwa Tuhan memang tidak ada. Buktinya, ia tidak pernah ditolong meski setiap malam selalu memanjatkan doa tanpa henti. Jeongin berikrar dalam hati bahwa ia tidak percaya Tuhan lagi.
Setidaknya untuk sekarang sampai ia menemukan keadilan.
Suatu hari manakala putus asa kian menjalar hingga sebabkan bilur terberai, Jeongin bertemu dengan seorang pemuda bernama Felix yang mengajaknya beribadah ke gereja langganan tetapnya. Mulanya Jeongin ragu, sebab ia adalah seorang atheis. Sulit baginya untuk menolak, Felix telah menolongnya dari kesulitan ekonomi beberapa pekan lalu. Jadi meski pelik, Jeongin bersedia ikut pergi tanpa banyak utarakan protes. Di gereja itu, lantas merubah kehidupan Jeongin menjadi terombang ambing oleh ombak kesesatan. Ia kira bila benar-benar bergabung, Jeongin akan mendapat pertolongan entah dari pendeta atau sesama jemaat. Rupanya ia salah, Jeongin malah melemparkan dirinya pada sebuah sekte yang merupakan penyembah pada entitas pengecut yang selama ini membayangi hidupnya.
"Kalau saya sudah memutuskan untuk bergabung, apakah saya benar-benar bisa lepas dari kutukan ini?" tanya Jeongin suatu hari.
Pendeta Bang Chan tersenyum syahdu, ia menggeleng. "Tidak nak Jeongin, sebab saya hanya seorang perantara. Hanya Tuhan yang bisa memutuskan, akan menyembuhkan atau membiarkanmu terluka. Jadi, ada baiknya bila kamu tetap bergabung bersama komunitas gereja kami. Setidaknya saya bisa menjamin untuk mengusir 'dia' seperti yang kamu inginkan."
"Lalu, kalau Tuhan tidak mau membantu?" Jeongin masih skeptis terhadap kuasa Tuhan.
"Nak Jeongin, bagaimana mungkin sesuatu objek dapat disebut Tuhan bila dia tidak mampu membantu ketidakmampuan hambanya? Bila Tuhan seperti itu, maka apa gunanya kita menyembah dia? Lebih baik menyembah pada iblis yang sudah tentu memberikan kesenangan walaupun sesaat, bukan?"
"Maksud anda?" Jeongin mengernyit, mendadak atmosfer dingin menyergap tanpa bisa dicegah. Walaupun ia seorang atheis, tetap saja terasa aneh bila mendengar seorang pendeta ucapkan kalimat janggal.
Sang pendeta berkilah kemudian bertanya, "Jadi nak Jeongin, siapa sebenarnya entitas yang selama ini mengganggu kamu? Bisa kamu jelaskan ciri-cirinya? Supaya saya bisa bantu untuk melepas atau sekalian mengusirnya."
Jeongin meneguk ludah, lehernya terasa kaku, lidahnya kelu. Matanya bergerak-gerak gusar, rasanya seperti lidahnya ditahan untuk tidak berkeluh kesah. Ia merasa seakan tercekik sebab nafasnya mendadak sesak. Jeongin menatap Bang Chan panik, namun sang pendeta bergeming, tidak berusaha membantu, hanya menatap tanpa ekspresi. Sejenak, Chan menutup mata lalu mulutnya komat kamit lirih. Perlahan, leher Jeongin terasa lebih lega, cengkraman yang menimpa barusan sudah terlepas. Bak lari pontang panting, nafas Jeongin tersengal-sengal dengan peluh menetes seukuran biji jagung menghinggapi seluruh kening.
"Pak pendeta lihat sendiri 'kan? Dia adalah entitas sosok jahat yang berusaha membunuh saya! Tolong, selamatkan saya," pinta Jeongin memelas. Ia menautkan jari pada kemejanya yang lecek. Tangannya berkeringat dingin nan gemetaran.
"Jeongin, sosok di belakang kamu ini akan sangat sulit untuk di usir, jadi menurut saya, bagaimana kalau kita melakukan ritual untuk menyingkirkannya di dalam gereja saja? Saya yakin, jemaat yang lain pasti mau membantu kamu juga." Chan berlagak khawatir, ia memberi satu dua petuah sebelum menuntun Jeongin menuju aula gereja. Tempat untuk melakukan ritual 'pengusiran' katanya.
Jeongin dibawa ke tengah-tengah para jemaat bertudung merah yang mengelilingi sembari masing-masing memegang sebuah lilin. Api berkobar di tangan mereka semua. Jeongin disuruh duduk pada sebuah kursi kayu jati yang tidak memiliki sandaran, kemudian para jemaat bergerak mengelilingi Jeongin seraya menggumamkan entah mantra atau semacam doa yang Jeongin sendiri tidak mengerti.
Chan sebagai pemimpin ritual lantas maju setelah datang entah dari mana, di tangan sang pendeta terdapat sebuah bantal, di atasnya ada sebuah gelas kaca tinggi yang terlihat mewah. Di sebelah botol nampak tertancap sebilah jarum pentul yang lalu diserahkan pada Jeongin. Chan meminta Jeongin untuk menusuk jari tengah sebelah kirinya lalu menumpahkannya ke dalam gelas kaca. Salah seorang jemaat maju membawa teko air dan mengisi gelas hingga terisi separuh. Cairan berwarna merah kental yang mencurigakan.
"Ini untuk apa, pak pendeta?" bingung Jeongin.
"Minum ramuan yang sudah tercampur dengan darah milikmu. Maka, sosok yang mengganggumu akan lebih mudah diusir setelah kamu mau berdamai dengan dirimu sendiri." Chan menatap mata Jeongin datar. Ekspresinya masih ramah, hanya saja terselip keyakinan didalamnya.
Cairan di dalam cawan nampak mencurigakan pun bau anyir yang menyapa hidung coba ia hiraukan. Jeongin menurut, sejenak pikirannya kosong. Harapannya hanya agar bisa lepas dari segala teror mistis yang menghantui sejak ia akhil baligh. Lantas, ia ambil gelas yang disodorkan oleh Chan, menenggaknya dalam sekali teguk. Para jemaat yang menyaksikan, satu persatu melepas tudung jubah mereka, keberadaan Felix diantara kerumunan dapat membuat Jeongin separuh lega. Semua orang di sana tersenyum puas. Membuat Jeongin kian terheran.
"Nah Jeongin, mulai detik ini kamu tidak akan lagi diganggu oleh iblis yang bersarang di hatimu. Sebab kini ia berada tepat di sebelahmu." Chan berujar lantang, namun berbisik di akhir kalimat. Jeongin tidak begitu mendengarkan sebab jemaat berjubah itu bertepuk tangan girang. Seolah tengah menyambut suka cita.
Jeongin tersenyum, tapi mengapa rasanya ia belum lega? Hatinya seolah masih merasa janggal dan terbebani sesuatu.
Ia menggeleng enyahkan pikiran negatif, naluri bergumam, setidaknya kini beban hidup Jeongin telah berkurang salah satu.
Jeongin hanya belum menyadari beratus-ratus seringai yang dilayangkan padanya. Andai kata bukan iblis bertanduk bak kepala kambing yang menginginkannya sebagai ratu, maka kekuatan supranatural yang dimiliki oleh Jeongin akan membuat perpecahan dimensi. Sebab Jeongin memiliki aura manis yang disukai oleh kaum lelembut. Tak hanya iblis, tapi jin dan syaitan sekalipun tengah memperebutkan untuk menjadikan Jeongin sebagai tuannya, sang tersanjung di alam ghaib. Kekuatan sang iblis tidak tertandingi, maka Jeongin hanya diikuti oleh satu iblis sepanjang hidupnya hingga kini. Para lelembut kualahan menghadapi sikap congkak nan kejam dari sang iblis, hingga akhirnya menyerah dan hanya memantau Jeongin dari jauh. Lantas, iblis itu kian besar kepala, menempeli Jeongin bak lintah sembari mengambil kesempatan untuk menyusup ke dalam bunga tidur yang indah. Mengubahnya menjadi ayut nan cumbunarasa. Tinggalkan perasaan gelisah dalam sanubari.
"Manusia dan iblis dilarang untuk bersatu."
Nabastala menangis, ikut bertanya-tanya ke mana kisah ini akan dibawa pergi?
_________________________
To be continue..
Gimana perasaan kalian saat membaca chapter ini?
Jangan lupa vote, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘽ecaꪊse 𝙔ou 𝙒ouꪶd 𝘽e 𝙈ine! - S1&S2, [hyunjeong].
FanfictionTAMAT • HYUNJEONG Pijaraya semesta rasanya sulit untuk digapai. Sebab sosokmu tak pernah berhenti berdamai dengan keadaan. Dunia kita berbeda. Kamu adalah temaram yang dijauhi umat manusia sepertiku, tidak seharusnya kamu sembunyikan aku dari dunia...