0.07

272 43 31
                                    

Tangisan sunyi tak terbendung dari bibir tipis milik Jeongin. Tubuhnya tergolek lemas di bawah guyuran shower, berusaha meredam suara sekiranya Hyunjin tidak datang dan mengganggu waktu menyendiri. Tangannya membekap mulut, linangan air mata tak henti-hemti turun membasahi pipi, bercampur dengan air jernih agar terdistraksi.

Jeongin melempar sebilah testpack bergaris dua itu. Pikirannya kacau. Pantas saja selama dua bulan berlalu ia merasa tubuhnya melemah, sering muntah di pagi hari, juga moodswing mendera tanpa alasan yang jelas. Rupanya janin dari sang iblis tengah menggerogoti paksa organ dalamnya hingga bilur kian tertoreh. Manusia tidak mudah menerima eksistensi dari makhluk yang berbeda entitas wujud dengan dirinya. Jeongin yakin ia tidak akan baik-baik saja bila terus mengandung anak dari Hyunjin. Pilihannya hanya ada dua, mempertahankan untuk menerima sakit, atau menggugurkannya tapi resikonya lebih parah lagi. Jeongin bisa kehilangan nyawanya jika melakukan salah dua hal tersebut.

Tidak ada pilihan yang dapat meringankan bebannya.

Dilema, Jeongin bimbang harus berbuat apa.

Telepon berdering dari arah kamar, mau tidak mau Jeongin bangkit mematikan kran shower. Sebenarnya sekarang ia tengah berada di sebuah apartemen milik Hyunjin. Pemuda iblis itu yang membawanya kemari dengan alasan untuk menjaga sang kekasih agar tidak kelelahan. Jeongin jadi yakin bahwa Hyunjin telah mengetahui bahwa ia tengah mengandung sang iblis sebelum ia sendiri tahu. 

Jeongin mengangkat telepon dari sang ibu, "Halo ma?"

["Jeongin, mama sudah sampai di Thailand, dua minggu lagi sepertinya sudah bisa sampai ke Kotabaru. Kamu baik-baik saja 'kan di sana?"] tanya Boah khawatir.

"Mama jangan ke mana-mana, aku akan tiba di Thailand besok pagi naik pesawat. Aku tidak mau tinggal di sini lagi, ma." Jeongin menangis tersedu-sedu di hadapan telepon suara ibunya. Badannya gemetaran nyaris kejang kedinginan.

["Loh, Jeongin, ada apa nak? Kamu jangan buat mama khawatir, sayang."]

Dengan terbata Jeongin menjawab, "A—ku capek ma, mungkin ka—kalau aku pergi dari Indonesia, dia tidak akan bisa lagi mengendus bauku. B—biarkan aku menyusul mama saja, jadi tkw di Arab Saudi."

Ibu Jeongin terdiam, mungkin menimbang keputusan anaknya. Sejenak menarik napas, beliau mengangguk dari seberang, ["Kalau begitu, mama tunggu kamu di sini. Lalu kamu bisa jelaskan sedetail mungkin. Apa sebenarnya yang menghantui kamu, Jeongin."]

"Terima kasih banyak, ma!"

Dengan langkah terseok serta pandangan linglung, Jeongin bergegas keluar dari apartemen. Hyunjin sedang pergi ke habitatnya. Tidak tahu kalau Jeongin sudah berencana kabur dari cengkraman sang iblis.

Pontang-panting Jeongin menggeret tas kain besar menuju bandara. Ia memesan tiket yang sekiranya bisa langsung berangkat menuju Thailand. Jam dinding bandara telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kemungkinan dini hari nanti ia akan tiba menyongsong pelabuhan tempat ibunya menginap sementara.

Beruntung segala urusan Jeongin tidak dipersulit sama sekali. Ia tiba di Thailand pada pukul enam pagi. Lumayan lama dari perkiraan Jeongin. Ia segera turun dari bandar udara Internasional Don Mueang, lalu naik taksi untuk menuju pelabuhan Leam tempat Boah menunggunya.

Bagaskara nampak terik, Jeongin berlari kala melihat siluet sang ibu berdiri di dekat kapal kargo siap jalan. Tasnya jatuh di samping tubuh, Jeongin acuh, sebab kini ia menangis dalam pelukan Boah. Lantas memohon, "Bawa Jeongin pergi sejauh mungkin, ma."

𝘽ecaꪊse 𝙔ou 𝙒ouꪶd 𝘽e 𝙈ine! - S1&S2, [hyunjeong].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang