S2, 0.13; Sang Dayita Abadi.

237 32 47
                                    

Jeongin pulang dari rumah sakit bersama Riki yang bermaksud untuk menjaga jikalau Jeongin kenapa-napa atau kerasukan lagi. Tapi, bocah itu malah jatuh tertidur pulas begitu berbaring di atas ranjang. Meninggalkan Jeongin yang menatapnya sayu merasa bersalah.

Begitu tersadar dari kerasukan tadi, Jeongin nampak seperti orang linglung. Menatap ke segala arah termasuk dinding dengan bercak darah nyaris mengering. Pun saat tersadar, hari sudah malam, memasuki pukul 10 wita, sebentar lagi jam besuk berakhir. Boah menjelaskan semuanya secara detail pada Jeongin, apa yang terjadi selama Jeongin bukan menjadi dirinya. Termasuk tentang kuku-kukunya yang menghitam serta memanjang, seolah merupakan perwujudan dari dendam arwah yang tidak tersampaikan.

Sempat sebelum Riki menggandeng tangan sang ibu, Jeongin bertanya pada Boah.
"Kalau aku tadi sempat mencakar wajah kak Juyeon, mengapa mama tidak lekas mengobatinya? Justru membiarkannya pulang dengan penampilan babak belur."

Boah gelagapan, ingin mengarang jawaban, tapi Jeongin terlanjur pergi ditarik Riki. Katanya, "Buna pasti lelah. Dan mungkin...nenek berpikir bahwa paman Juyeon pantas mendapatkannya."

"Apa maksudmu, Riki?!" Jeongin menghentikan langkah di koridor, menodong putranya sambil memegang kedua bahu pemuda kecil itu.

"Tadi aku melihat paman Juyeon berperilaku aneh, aku curiga ada sesuatu yang dia sembunyikan dari kita." Lalu Riki berjalan mendahului Jeongin.

Meninggalkan pertanyaan dalam benak Jeongin. Terutama ketika ia sadar, bahwa tubuhnya seolah bukan miliknya lagi.

Apa yang terjadi pada dirinya? Jeongin merasa kian tidak karuan.

Sesampainya di kamar hotel, Jeongin lepaskan baju atasannya di dalam bilik kamar mandi. Bercermin memperhatikan buah dadanya yang mulai berisi, persis payudara perempuan tapi tidak terlalu besar untuk memakai bra. Tadi malam, Jeongin ingat betul kalau dadanya masih rata, tapi hari ini mengapa berubah?

Desiran angin dingin menghinggapi tubuh setengah telanjangnya, perlahan siluet sesosok pria muncul memeluk pinggangnya dari belakang. Menatap sorot mata Jeongin dengan nestapa. Berusaha menberi tahu bahwa ia sangat mencintai pemuda dalam dekapannya.

"Apa lagi maumu kali ini?" tanya Jeongin berontak.

Dada Hyunjin mencelos, rasanya sesak melihat sepasang netra bening itu, "Saya hanya ingin menunjukkan sebuah kisah masa lalu saya. Agar kamu berhenti mempertanyakan 'mengapa harus kamu' yang saya pilih sebagai permaisuri abadi."

Bayangan Jeongin dalam cermin mengangguk, "Iya, tolong beritahu aku tentang segalanya, Hyunjin supaya aku tahu, keputusan apa yang seharusnya aku ambil."

Hyunjin tersenyum mendapati kekasihnya untuk pertemuan kedua kali ini. Sikap yang ingin sekali Hyunjin lihat setiap hari. Setidaknya bila masih ragu, Jeongin tetap bersikap bijaksana bila ada masalah menimpa. Apalagi jika Jeongin dapat mencintainya dengan keutuhan hati tanpa jiwa yang ragu nan berkecamuk sendu. Namun, Hyunjin tidak boleh gegabah lagi, ia harus memastikan bahwa rasa nyaman dan aman tidak menjurus obsesi demi pemuda yang ia cintai, sang permata sanubari.

"Bukan wewenang saya untuk memberitahumu, tetapi ada seorang gadis penjaga perbatasan alam baka yang akan menunjukkannya padamu." Tangan Hyunjin bergerak menutupi kedua mata Jeongin. Membuatnya jatuh tertidur agar mampu pergi ke tempat yang Hyunjin maksud. Lucifer menggendong Jeongin, membawa tubuhnya untuk berbaring di sebelah Riki yang sedang bermain ponsel.

Saat Riki berbalik dengan wajah tersentak, Hyunjin menaruh jari telunjuk di depan hidung mancungnya. Kemudian mendesis menyuruh untuk tidak panik, "Shht."

Lantas, Lucifer kembali hilang ditelan kegelapan.

"Semua sudah diatur sesuai perannya. Saya sebagai salah satu makhluk, tentu saja harus menjalani peranan itu meskipun mendapat peran sebagai antagonis dalam suatu kehidupan fana."

𝘽ecaꪊse 𝙔ou 𝙒ouꪶd 𝘽e 𝙈ine! - S1&S2, [hyunjeong].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang