Pagi hari setelah perbincangan panjang mengenai masa lalu Lucifer dan hubungannya dengan sang ayah, Jeongin kini bersikap jauh lebih santai. Bahkan tadi malam, mempersilahkan Hyunjin untuk tidur satu kamar bersamanya. Berpelukan, berbagi kehangatan tanpa nafsu untuk saling menjamah seperti sebelumnya. Entah mengapa perasaan Jeongin menjadi lebih tenang, nyaman, dan aman selepas berbagi keluh kesah dan memaafkan segala kesilapan di masa lalu.
"Hyunjin, boleh tolong bangunkan Riki? Dia harus sarapan. Kamu juga kemarilah setelahnya." Jeongin tersenyum simpul sambil merapikan peralatan makan di atas meja.
"Baiklah permataku," kata Hyunjin lalu segera berbalik menuju kamar putranya yang memang sekamar dengan Jeongin.
Walaupun hotel itu memiliki 2 kamar, tapi yang satunya harusnya dimalami oleh Boah. Terbersit dalam pikiran Jeongin, kemana ya perginya sang ibu selama 3 hari berturut-turut? Hyunjin bilang, Dongwook tidak benar-benar sakit, hanya alibi untuk memaksa Jeongin kembali ke pelukannya saja. Seharusnya sekarang Boah sudah pulang ke hotel. Mungkin mereka tidak akan kembali ke Timur Tengah, tapi setidaknya bermalam dulu di hotel sebelum mencari rumah untuk ditinggali tetap.
Panjang umur. Terdengar bunyi membuka akses pintu dari luar, baru saja teringat dengan mereka, Boah dan Dongwook sudah datang saja.
"Jeongin, apa memang habit anak jaman sekarang adalah bermain ponsel begitu bangun tidur? Lihat anak ini, baru bangun, langsung scrolling tiktok." Hyunjin mencak-mencak menarik Riki keluar kamar, ditangan bocah itu masih memegang ponsel dam belum keluar dari aplikasi. Ia menyengir tatap ibunya yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah lakunya.
"Jadi kalian sudah berbaikan?" Boah menengahi sembari pamerkan gandengan tangan bersama Dongwook, sang suami.
"Jadi, kalian sudah bakarubut?" tanya Jeongin memastikan ibunya apakah sudah benar rujuk dengan sang ayah dalam bahasa Banjar.
Boah terkekeh sambil saling memandang dengan pria dalam rangkulannya, "Kami tidak pernah bercerai, Jeongin. Perpisahan yang kamu lihat hanya alibi agar kamu semakin terpuruk. Maafkan mama, ya? Yang sudah setuju pada ide konyol untuk menjatuhkan mentalmu."
Riki menganga mendengar pengakuan neneknya. Rupanya ada, ya keluarga yang seperti orang tua ibunya? Bekerja sama untuk menjatuhkan mental sang buah hati. Benar-benar diluar nalar.
"Aku sudah menduganya. Sekarang sudah tidak apa-apa. Ya...setidaknya aku akan mencoba untuk bersikap masa bodo tentang pengkhianatan kalian." Jeongin menggedikkan bahunya. Mengambil sendok, lalu mulai memakan sarapan bersama Riki yang masih sering minta disuapi.
"Apa yang kalian tunggu? Makanlah."
Boah dan Dongwook langsung duduk bersebrangan dengan Jeongin. Menyantap sarapan bersama-sama.
Hyunjin melangkah dekati Jeongin, mengecup ujung bibirnya, lalu menatap teduh.
"Saya harus kembali ke kastil. Kamu sarapanlah yang banyak. Saya akan segera kembali."Jeongin mengangguk dengan tampang cemberut, "Mengapa begitu?"
"Maaf ya, sayang."
Jeongin menghela napas, "Tak apa, pergilah. Hati-hati di jalan."
Hyunjin tersenyum simpul, diciumnya sedikit lebih lama bibir tipis itu. Riki di sebelah Jeongin segera mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak melihat sembari menyeruput buburnya hingga tandas. Jeongin merangkul lengan Hyunjin dan membawanya menuju ke luar kamar. Ia tersenyum mengantarkan kepergian sang kekasih. Pertama kalinya selama 600 tahun Jeongin memperlakukan Hyunjin begitu manis. Membuat dada Hyunjin bergetar menyenangkan sampai ia tidak berhenti tersenyum di perjalanan pulang.
Setelah mengantar Hyunjin, Jeongin menutup pintu serta berbalik. Memicing pada kedua orang tuanya yang ikut menyantap sarapan di meja.
"Sekarang katakan, darimana saja kalian berdua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘽ecaꪊse 𝙔ou 𝙒ouꪶd 𝘽e 𝙈ine! - S1&S2, [hyunjeong].
FanfictionTAMAT • HYUNJEONG Pijaraya semesta rasanya sulit untuk digapai. Sebab sosokmu tak pernah berhenti berdamai dengan keadaan. Dunia kita berbeda. Kamu adalah temaram yang dijauhi umat manusia sepertiku, tidak seharusnya kamu sembunyikan aku dari dunia...