Part 1 (Mimpi Buruk)

263 15 19
                                    

Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004

Dia masih di sana. Masih menari. Entah sejak kapan dan sampai kapan dia akan menari tak ada yang pernah tahu. Sesekali dia berdendang, juga bersajak. Tapi semua itu bukanlah jawaban untuk apa yang sedang dilakukannya. Dia memang cantik. Tapi dia tak pernah tersentuh. Oleh apapun juga siapapun.

Bulan hujan, kekasih...
Aku belum juga terlelap
Ketakutanku akan jawaban
Semakin menuntutku untuk lontarkan tanya
Kau masih juga bersiul
Sementara pisau-pisau tajam menghunus kata
Bulan hujan, kekasih...
Aku di sini masih saja memeluk rembulan
Bintang-bintang mengutukku
Tapi aku akan tetap di sini
Selalu di sini
Untuk menari...

Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit, sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hingga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.

***

Part 1
Mimpi Buruk

Di Sebuah Desa di Pinggir Alas Kidul, Zaman Kerajaan Hindu

"Kamu mau ke sungai sekarang, nduk?" Ucap perempuan paruh baya kepada gadis muda cantik yang merupakan anaknya.

"Nggih, Bu. Biar tidak kesiangan nanti" Jawab gadis muda itu.

"Ya sudah hati-hati. Segera pulang kalau sudah selesai nyuci" Ucap Ibunya.

"Nggih, Bu" Jawab gadis cantik itu.

Gadis cantik itu pun berjalan menyusuri jalan desanya menuju ke sebuah sungai besar di pinggiran desa. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi warga desa ini, terutama perempuan mencuci baju di sungai.

"Selamat pagi, mbok" Sapa gadis itu pada seorang perempuan tua yang sedang sibuk merawat tanaman sayur di ladang yang dilewatinya.

"Ealah Ndari to jebule, tak kiro sopo (Ealah Ndari to ternyata, kukira siapa" Sahut perempuan tua itu.

"Ameh ning lepen, nduk? (Mau ke sungai, nduk?)" Sambungnya.

"Nggih , Mbok Narti" Jawab Sundari atau biasa dipanggil Ndari oleh penduduk desa ini.

"Yowis kono, sing ngati-ati (Ya sudah sana, hati-hati)" Ucap Mbok Narti.

Sundari pun tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya yang masih cukup jauh untuk menuju ke sungai. Sundari memang dikenal sebagai seorang gadis yang sangat ramah. Selain itu juga dia sangat cantik. Penduduk desa ini begitu menyukainya. Dia tak segan membantu siapa saja yang sedang dalam kesulitan sesuai kemampuannya. Selain dikenal sebagai gadis yang sangat baik, Sundari juga dikenal sebagai seorang penari handal. Dia mengikuti sanggar tari yang ada di desanya. Sejak kecil dia begitu menyukai seni tari tradisional ini. Hampir setiap sore dia selalu berlatih di sanggar dan juga melatih anak-anak kecil yang baru belajar seni tari. Wajahnya yang cantik, tutur katanya yang lembut dan ramah, serta kebaikannya membuat beberapa pemuda desa ini menginginkannya menjadi pendampingnya. Namun tidak satupun yang mendapatkan respon oleh Sundari. Meski usianya sudah memasuki usia yang pantas untuk mengakhiri masa lajang. Entah apa alasannya hanya Sundari seorang yang mengetahuinya.

Sesampainya di sungai, Sundari langsung melakukan kegiatannya mencuci baju. Nampak di antaranya ada beberapa perempuan lain yang juga warga desanya melakukan kegiatan yang sama. Sambil diwarnai senda gurau mereka tampak asyik mencuci baju tanpa ada beban sedikitpun. Namun tanpa ada yang menyadari, ternyata ada sepasang mata yang mengamati mereka semua dari balik semak tak jauh dari seberang sungai itu. tatapan mata itu nyalang penuh nafsu menatap tajam serombongan perempuan desa yang sedang mencuci baju dan juga mandi, terutama pada Sundari.

Bulan Hujan Dan Perempuan di Sudut Taman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang