12. Gue Benci Dia

39 5 0
                                    

"Jadi udah berapa bulan?"

"Bulan pala bapakmu! Baru Juga 2 minggu Van." Rea merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya, di ikuti Vani.

"Kunci pintunya!" Pinta Rea. Vani segera bangun, berbalik dan menutup pintu, serta menguncinya. Setelah itu dia duduk di dekat kaki Rea yang tengah memejamkan mata sambil memeluk guling nya.

"Lo belum ngasih tahu gue.. siapa bapaknya." Vani menggoyangkan kaki Rea.

"Ree?? Lo cerita dong. Jangan diem aja!" vani Kesal Sekali rasanya, melihat Rea seperti ini. Terlalu santai. Padahal masalahnya cukup besar.

Rea berdecak, dan bangun dari tidurnya. "Gue jijik sama diri gue sendiri, Vani.." mata Rea berkaca-kaca, dengan tangan menunjuk dirinya sendiri. "Lo bener! Dia cewek." Rea mengangguk-anggukan kepalanya pelan.

"Cewek apaan? Mana bisa cewek hamilin cewek! Pe'ak!" Vani menangis frustasi. "Lo ngeprank gue ya!"

Rea menggeleng. "Dia.. Dia Cewek.." Rea menutup mukanya, tidak sanggup melanjutkan.

"Re??" Vani mengguncang tubuh Rea. "Jangan Nangis.." Vani memeluk tubuh Rea.

"Ya lo duluan yang nangissh." Ujar Rea sambil terisak.

"Ya! Lo duluan bikin gue stress! Cewek Mana bisa hamilin Cewek.." Vani Geram sendiri. Rea sendiri semakin terisak. Vani tidak bisa melihat sahabatnya itu seperti ini.

"Gue malu Van!" Rea menghapus air matanya. Bagaimana cara menjelaskannya pada Vani. Rea sendiri bingung harus bagaimana.

"Lo bener, Dia itu cewek.. Tapi.." Rea tercekat, terisak pedih. Vani semakin tidak paham dengan ucapan Rea. Rea pasti sangat tertekan hingga tidak bisa berkata-kata seperti ini.

Rea kembali menidurkan tubuhnya dalam posisi miring setelah melepas pelukan Vani. Vani sendiri juga mengikuti gerakan Rea. Kini tubuh keduanya berhadapan. Hening beberapa saat sampai Rea benar-benar merasa tenang.

"Van.."

"Hmm?"

Rea memejamkan matanya, dan menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. "Dia.. Dia Banci.. nggak! Mungkin Dia.. Dia.. Transgender.."

"What The Fuck! Yang bener lo re?" Vani terpekik. Tubuhnya kembali duduk. Mendadak kepalanya pusing dan kepalanya berkunang. "Gila!"

"Gimana bisa?"

Rea menceritakan semua kejadian yang menimpanya beberapa minggu yang lalu. Yang semakin membuat Vani tidak habis pikir dengan nasib sial yang di alami sahabatnya itu.

"Gue harus apa Van?" Tanya Rea, sambil menghapus air matanya. "Apa harus gue gugurin?"  Lanjutnya dengan lirih.

Vani menatap horor keinginan Rea. Tidak! Itu bukan pilihan yang tepat untuk Rea. Vani menggeleng pelan, menandakan dia tidak setuju. Bukan karena bayinya, tapi lebih kepada kondisi Rea. Dia takut Rea kanapa-kenapa.

"Tapi gue bukan bajingan! Mau bagaimana pun juga dia tetep darah daging gue!" Rea menyentuh perutnya yang masih rata.

"Kalau dia bisa milih, mungkin dia juga nggak akan mau hadir kan Van?" Rea menatap Vani dengan sendu.

"Dia bahkan belum punya dosa.. dan dengan kejamnya gue punya niat buat bunuh dia." Vani kembali terisak.

"Dia pasti sedih, Ibunya bahkan nggak pernah menginginkan kehadirannya, Dia juga nggak akan pernah tahu siapa Bapaknya.." Rea terkekeh sinis.

"Kalau pun dia tahu, dia pasti malu.." lirih Rea.

Vani yang melihatnya menarik tubuh Rea, dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Keduanya menangis dengan pilu. "Gue sayang sama lo, Gue akan bantu lo, Apapun yang terjadi" Vani mengelus pundak Rea.

TUAN NONA (Hug My Heart)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang