12

641 63 5
                                    

"perkenalkan paman, bibi... Namaku Joss Way-ar Sangngern"

Orang-orang disana bertepuk tangan heboh, ayah Phuwin semangat menepuk bahu lelaki itu dan mempersilahkan Joss kembali duduk. "Aku tak menyangka, Phuwin ternyata memiliki kekasih"

"Phu, kenapa tak bilang dari awal?" Oceh Mook "kalian terlihat serasi juga"

"Humm, aku ingin memberi kalian kejutan" ujar Phuwin, matanya menatap lurus kedepan dimana Pond ikut menatapnya tajam.

"Lalu Pond? Siapa nama kekasihmu?"

"Perkenalkan, namaku June Wanwimol Jaenasavamethee" wanita cantik itu menunduk hormat, mengundang rasa kagum pada orang-orang tua disana.

"Phi June sangat cantik" Daw berceloteh

"Terima kasih"

Acara itu dimulai sangat hikmat, dalam keriangan bunyi suara decitan piring dan sendok beradu. Phuwin masih menyimak bagaimana June begitu lembut memperlakukan Pond, begitupun sebaliknya. Benar juga, dia yang memutuskan untuk lari dan terbebas dari lelaki itu. Lepas seperti balon tak terikat yang ditiup angin kesana kemari, merasakan keputusan hatinya sendiri tanpa melibatkan Pond lagi.

Inikah harga dari keputusannya? Menjadikan Pond mengambil langkah untuk mencari seseorang sebagai penggantinya?

"Joss, makanlah yang banyak. Kami yang membuat semua ini" ujar ibu Phuwin tersenyum

"Iya, terima kasih bibi... Aku sudah kenyang"

"Aww... Makannya sedikit sekali"

Joss tersenyum masam, lelaki itu mengusap perutnya membuat gestur menolak yang sopan. Phuwin sedikit melirik kesamping, menyaksikan kekasihnya beraut wajah tak nyaman. Dia tak bisa menduga apapun kecuali satu hal, lelaki itu sedang mempermasalahkan sajian di atas meja. Karena banyak hal, entah daging ini tak se empuk yang biasa dia makan, atau karena sajian ini bukan seleranya.

"Aku akan ke toilet sebentar" bisik Joss, mau tak mau Phuwin ikut menyertainya dan mengantarkan sang kekasih ke dalam rumah.

Keduanya menghilang di balik pintu rumah, Phuwin tak terlalu banyak berbicara. Ditambah saat ini fikirannya tak karuan menerka perihal hubungan Pond dan June yang terkesan sangat buru-buru, sungguh mencurigakan.

"Phu, lain kali katakan saja padaku jika ibumu ingin membuat acara"

Phuwin mengendus "ada apa lagi kali ini?"

"Tak masalah, hanya saja aku merasa lebih baik jika membawa mereka ke restoran mewah. Agar mereka merasakan hidangan yang lebih baik, itu juga tak akan merepotkan ibumu kan?"

"Hia, aku mohon hentikan..." Pandangan Phuwin sangat muak "selanjutnya aku tak akan tau apa yang akan terjadi, tapi sikapmu benar-benar membuatku tak tahan..."

Chanbin berusaha mengulurkan tangannya, meski ditolak mentah-mentah oleh sosok manis "Phu, jangan marah... Aku hanya memberi saran"

"Apa yang mau pikirkan? Kami tak mampu makan di tempat mewah?"

"Phu, bukan begitu—

—kami juga bisa, tapi bukan itu yang kami cari. Kami hanya ingin berkumpul dengam suasana yang hangat, dimana keluarga ada dalam satu meja tanpa peduli pandangan siapapun" kata-katanya terdengar parau, Phuwin menggeleng pelan berusaha menghentikan kekacauan hatinya "Hia, apa menurutmu kita cocok?"

"Phu, tentu saja. Lihat aku..." Joss menakup wajah Phuwin, meyakinkan "apa yang tak kau dapatkan dariku, Phu? Aku bisa memberikanmu segalanya"

Si manis tertawa pelan "kau memandang segalanya begitu mudah, sampai kau lupa bahwa perasaan cinta bahkan tak bisa berdasar hanya karena materi saja. Kau terlalu tamak Hia, kau mengukur perasaanku, diriku dan seluruh harapanku dengan materi. Kau menjadikanku seakan-akan peliharaan yang ingin kau senangkan, segalanya... Segalanya hanya omong kosong"

"Phuwin—

—ayo hentikan ini, aku lelah"

.
.
.
.
.

Bintik-bintik noda di atas permukaan meja di bereskan sangat telaten oleh seorang gadis cantik, Phuwin menghela nafas panjang. Mendekati June kemudian ikut membantu beberes peralatan bekas makan, matanya melirik sedikit pada Pond yang juga berbenah alat pemanggang.

"Kau dan Pond benar-benar menjadi kekasih?"

"Tentu saja" jawab June

Phuwin mengusap wajahnya kemudian mengangguk paham "sejak kapan kalian resmi berkencan?"

"Tadi siang"

Lelaki manis itu menyergitkan dahi, sedikit syok mendengar penuturan June. "Baru tadi siang? Dan kau sudah berani hadir disini?"

"Apa salahnya? Ibumu sendiri yang mengundang June" Pond menjawab dari sana, namun tak melirik kearah Phuwin sama sekali.

"Maaf, aku hanya penasaran" Phuwin mengangkat beberapa piring lalu bergegas memasuki rumah, entah apa lagi yang harus ia katakan.

Pond akhirnya berjalan mendekati June "maaf yah, kau harus kerepotan berbohong pada mereka"

"Tak masalah, aku suka"

Pond mengangguk paham "kau bisa datang kapan saja di kedaiku, ibuku juga senang jika kau ada disana"

"Benar-benar boleh, kan?"

"Tentu saja"

Gadis itu memekik gembira, memeluk leher Pond dan sedikit bergelantungan disana.

Dari arah jendela, Phuwin menyibakkan tirai mengintip ke pekarangan. Saat malam semakin larut dalam gelap, cahaya indah di luar sana bekas acara mereka tadi masih menyinari rerumputan hijau bersinar. Tangan lentik menyentuh permukaan kaca, matanya bergerak-gerak menahan genangan air.

"Phuwin..." Pundaknya di remas, dan dia tau itu suara bibi Mook "kau kenapa?"

"Aku baik-baik saja bibi"

Jelas wanita itu ikut melihat keluar jendela, memilih diam tak ingin mengisi kesedihan dengan segala kata omong kosong. Tangan Mook mengusap rambut lelaki manis menenangkan "jangan memaksakan hatimu untuk berhenti mencintai orang lain, kita tak tau batas kesabaran orang-orang sampai dimana"

"Tapi—

—kenapa Joss pulang lebih awal?"

Phuwin menggeleng pelan "makanan yang kita hidangkan tak sesuai seleranya"

"Benarkah?"

"Iya, jadi aku menyuruhnya pulang sekalian"

Bibi Mook mengangguk "baiklah, istirahat saja malam ini. Bibi akan membantu yang lain beberes, masuklah kedalam kamar kemudian tidur"

Pria manis itu melangkahkan kakinya ke tangga, menaiki satu persatu kemudian membuka pintu saat tiba di lantai atas. pertama yang dia liat saat memasuki kamarnya adalah Daw, bocah yang terkulai di atas ranjang. Suara dengkuran halus terdengar jelas, dia duduk di pinggiran ranjang. Mengintip lagi di jendela memperhatikan pekarangan dimana bibi Mook, Pond dan June begitu sibuk.

Wajahnya jelas penuh penyesalan, meski terus berusaha agar tak kelihatan semuanya nampak mencekam. "Pond, semuanya sudah sangat berbeda yah. Karena kesalahanku..."

Hanya ada gemerlap lampu jalan dan penerangan suntuk dari pekarangan, mantan kekasihnya berjalan menyebrang. Di samping Pond, June terus mengobrol heboh bahkan mengundang tawa riang dari wajah tampan yang sangat ia rindukan.

Tak pernah yakin, suratan takdir menghianatinya. Bersinar redup dalam satu rute, Phuwin merasa hati kecilnya tercabik-cabik saat itu juga. Disana Pond terus berjalan di trotoar bersama June, melebar ke jalan besar penuh pepohonan yang cukup terang.

Kini tinggal kekosongan, dibelakang sana alunan dengkuran halus terdengar. Mengelilingi takdir sial yang hampir redup sepenuhnya, Phuwin terbayang hal-hal gila. Berapa banyak yang dia tinggalkan? Tubuh mungil itu berbalik.

Melihat pintu kamar sedikit terbuka, saklar lampu di matikan. Dari luar kamar dia menutup pintu, dengan perhalan meninggalkan lantai atas menuju pekarangan secepatnya.

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻

Return Place [Pondphuwin]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang