15

722 49 2
                                    

"ayo pulang..."

Phuwin mengangkat bahu, setengah hati sempat memasang wajah muram. Janhae paham sahabatnya sedang khawatir, karena sejak pagi Pond tak ada di kelas. Tas lelaki itu bahkan tertinggal bersama tas milik June, tapi sepertinya dari awal kedua orang itu sudah berencana menghilang dari sekolah.

"Phu, dia pasti kembali ke rumah untuk menenangkan diri. Kau akan segera menemukannya, ayo pulang..."

"Tapi..." Suara si manis bergetar tajam persis seperti saat ia terluka, tangannya menekan pipi gembil dengan rapat seolah-olah ingin mencegah suatu ledakan di dalam sana "dia pasti pergi dengan June, iya kan?"

"Tidak... Tidak..." Janhae menggeleng cepat "tidak Phu, dia pasti sudah kembali ke rumah"

"Aku tidak mau pulang, aku akan menunggu Pond disini"

"Ayolah, hari mulai gelap. Aku khawatir kau akan kehujanan, itu tak baik untuk kesehatan mu..."

Phuwin mendongak, merasakan udara di bawah kanopi gedung sekolah dengan wajah murung. "Maafkan aku Janhae, kau bisa kembali duluan"

"Tidak mau..." pandangan Janhae keras kepala, mencoba menggenggam tangan si manis "ayo kita pergi, sebentar lagi akan hujan"

Phuwin memutar otak, menepis tangan gadis itu dan memasang wajah bersungguh-sungguh. "Aku akan tetap disini, ayahku akan menjemput sebentar lagi" tentu saja dia berbohong.

"Baiklah, aku akan menemanimu..."

"Pulanglah duluan..."

"Apa kau yakin ayahmu akan datang?"

Rautnya meyakinkan sekali, pandangan sosok manis itu membuat Janhae akhirnya mengangguk setuju. Phuwin menghela nafas panjang menyaksikan satu persatu siswa meninggalkan lingkungan sekolah, bibirnya di tarik masuk ke dalam mulut seolah-olah dia baru saja menggigit buah yang masam. Air hujan mulai turun, membasahi tanah serta rerumputan di halaman hijau.

Rasa takut mulai memancar darinya dalam gelombang panas dan dingin yang berselang-seling, kepanikan itu jelas saat hari mulai gelap selang beberapa jam menunggu. Entah apa alasannya, dan entah kebodohan macam apa yang membuatnya tetap disana.

"Apa Pond tak mengkhawatirkan tas nya?" Tanya si manis pada tas berwarna hitam itu, matanya mendadak berat. Phuwin melirik jam tangannya, dan nafas lelah itu terdengar lagi.

"Dia akan kembali, aku yakin. Ibu akan memarahinya jika pulang tak membawa tas sekolah" kata-katanya terdengar lebih teduh, dengan susah payah Phuwin menyandarkan tubuh ke salah satu tiang besi kanopi.

Hujan masih cukup deras, dengan wajah putus asa setengah kecewa sosok manis itu berjalan menyusuri trotoar tepi jalan. Wajah sendunya nyaris terlihat konyol, hanya sementara sampai langkahnya tiba di bawah halte bus dengan orang-orang yang keheranan memandanginya. Tak ambil pusing, dia masih setia memeluk tas milik Pond.

Dari sudut matanya, dia bisa melihat bus melintas dan singgah disana. Sedikit tak nyaman dia menaiki kendaraan umum itu, menunduk-nunduk melewati beberapa penumpang dengan lengannya yang masih memeluk tas hitam. Dia berdiri di samping pintu karena sangat padat.

Beberapa menit, langkahnya begitu tak semangat menuruni bis. Kepalanya terangkat saat suara dua orang berbincang mengganggu indranya, matanya kadang-kadang melayang ke arah pintu kedai milik Pond yang nampak akan tutup. Dengan harap-harap cemas dia mencoba mendekat, menyaksikan seorang wanita memekik bahagia selama melangsungkan obrolan.

Punggung Phuwin berbalik, nampaknya dia hanya terpaku tak bergerak lagi. Rasa bahagia dari percakapan itu membuatnya tak bisa berkata-kata, dan ada keheningan yang singkat, memalukan.

"Phuwin..."

Phuwin berpura-pura batuk untuk menutupi kegugupannya, sembari berbalik badan menghadap dua orang tak asing itu. Dia angkat bicara "maaf, ini tas mu..." Tangan lentik itu bergetar, menyodorkan benda yang sejak tadi dipeluknya pada Pond.

"Kau baru pulang?"

"Humm..." Phuwin mengangguk tanpa berani menatap wajah itu lagi, dia malu.

"Terima kasih..."

Jelas kini Pond menarik tas hitam itu, tanpa embel-embel rasa peduli sama sekali. Bahkan lelaki itu sudah berbicara pada June tanpa peduli kehadirannya lagi. sungguh, kini dia hanya bisa memandang lelaki pujaan hatinya dengan cahaya lampu pinggir jalan.

Samar-samar keduanya selesai berbicara, dia masih disana menyimak dengan pikiran kosong. Bahkan saat gadis itu pergi, dia tak sadar sama sekali. Pond menyentuh pundaknya, wajahnya sudah lemah dan gugup.

"Kau basah, pergilah mengganti pakaian mu..."

Phuwin menggeleng "Pond... Maaf, aku masih mencintaimu..." Dia memberanikan diri waktu mengatakan itu dengan wajah yang masih pucat.

"Phu, kita tak ada masalah lagi."

"Tapi—

—pulanglah, kau akan sakit..."

"Apa kau tak akan memaafkan ku?"

"Aku memaafkan mu, tapi kurasa kita harus berhenti"

"Berhenti bagaimana?" Phuwin tak bisa membayangkan apa yang akan lelaki itu katakan selanjutnya.

"Kau tetap akan menjadi temanku, kau akan tetap jadi bocah kecil yang hidup di seberang jalan rumahku. Bukankah itu sudah cukup Phu? Bukankah memang itu yang kau mau?"

Phuwin bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, rambut yang menjuntai dari dahinya memberi penampilan nanar yang jelas.

"Pulanglah, kau benar-benar basah..."

"Aku minta maaf..." Kata sosok manis bersungguh-sungguh "aku... Aku benar-benar tak sadar menyakiti Pond, maaf..."

Pond mengangguk serius "aku memaafkan mu, kita bisa menjalani semua ini seperti biasa."

"Tapi..." Tentu dia tak puas, sebab bukan hanya pengampunan yang ia harapkan "aku masih mencintai Pond..."

"Jika aku sudah tidak?" Sendi-sendi rahang itu jelas terlihat dibalik wajah tampannya, Pond membuang muka "terima saja seperti ini, terima saja bahwa kau melakukan kesalahan dan menyakiti orang yang kau cintai, kau egois dan menganggap kesakitan orang lain hanya permainan"

"POND..." si manis histeris, memekik terluka dengan tangis yang menyertai getaran tangannya "aku tidak bisa... Jika itu bukan Pond, aku... Aku... Tidak bisa..."

"Kuserahkan semua situasi membingungkan ini sepenuhnya padamu, aku tidak peduli..."

Phuwin tersenyum kaku dan masam, kesannya kini berbeda. Hampir yakin bahwa Pond yang dikenalnya telah hilang dalam bayangan kesakitan yang ia ciptakan, dia menyeka air yang menetes dari kelopak matanya.

Pond berjalan menuju pintu kedai hendak bersiap untuk menutupnya malam ini, wajahnya mengeras. Ada sesuatu yang harus ia tahan, meski meninggalkan sosok manis itu sendirian di bawah lampu jalan, matanya masih melirik sesekali untuk memastikan.

Sweater biru dengan kondisi basah di tubuh lelaki manis itu sungguh menyayat hatinya, namun bukankah ini adalah cara agar Phuwin berpikir? Bukankah ini hanya usahanya agar pria itu mulai berhati-hati, dan lebih berhati-hati dikemudian hari.

Selama lima puluh detik kemudian, barulah Phuwin bergeser memasuki halaman rumahnya sendiri. Meninggalkan Pond yang menyeka pelipis dengan nafas berat, tak ada yang rela, tak ada yang benar-benar bisa berhenti. Namun, bukankah harus ada titik jenuh agar Phuwin mau bersungguh-sungguh?

"Apa aku terlalu kasar Phu?"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan ninggalin jejak 💙💙💙💙


Return Place [Pondphuwin]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang