sekuel

975 50 0
                                    

Kedua lelaki muda nampak bertengger di kursi kecil masing-masing dengan secangkir cokelat di depan mereka, Phuwin meminum cokelatnya dengan serutan vanilla padat di permukaan gelas. Pond mendekatkan wajah di depan pria manis itu, merasakan uap yang semerbak mewangi dengan wajah bersinar sinar di bawah lampu balkon.

Phuwin membuka mata, dan kekasihnya sudah tersenyum menyambut alunan cinta di tengah-tengah mereka.

"Apa itu lezat, sayang?"

Phuwin mengangguk, kecil dan riang seolah mengisyaratkan hatinya nyaman tak terkira.

Pond bahkan mengulurkan tangan, menyamai permukaan meja dan membuka telapaknya. Merasa ia telah mendapat respon yang diinginkan, Pond mengapit cincin yang bersinar. Kelopak matanya berair seketika, bersamaan dengan jemari lentik milik kekasihnya yang setengah masuk dalam lingkaran benda itu.

"Pond..." Phuwin menunduk, menumpahkan sesal yang tak terkira "maaf, maaf sudah pernah mengecewakan mu..."

"Jangan begitu..." Pond memberikan salah satu tatapan muramnya "semua sudah berlalu, dan aku tak berniat mengingat hal menyakitkan yang pernah kita rasakan. Cukup sampai disini saja, kita akan berjanji untuk saling melindungi"

Phuwin mengangguk, Bahkan kini Pond bergeser mendekatinya. Pria tampan kesayangannya, hanya satu-satunya yang tau perasaan hatinya. Datang untuk memeluk erat, membiarkan kesempatan ini tenggelam di jam-jam malam.

"Apa ini nyaman?"

"Saat Pond memelukku, itu selalu nyaman"

"Jangan pernah menangis lagi, yah..."

"Tidak... Tidak akan..."

Pond tersenyum, dia tak akan pernah membuat kekasih manisnya bersedih. Rambut lembut Phuwin menggelitik wajahnya, dan dia hanya bisa tertawa gemas menyembunyikan perasaan takut bahwa suatu hari dia mungkin akan kehilangan lagi.

Benar sekali, bahkan sampai saat lelaki manis itu berjanji dan meremat tangannya dia tetap khawatir. Pita merah di sekeliling meja nampak tertiup angin, dia mencium puncak kepala Phuwin dengan lembut. Ada embun di wajah manis itu, mungkin aroma pahit-manis dari uap cokelat tadi.

Dia mencondongkan tubuh, bibirnya menyentuh bibir si manis dalam ciuman yang lembut dan bertahan lama. Tangan kekarnya mecoba melingkari pinggang Phuwin, menarik sosok manis itu lebih dekat saat dia memperdalam ciumannya. Dunia di sekitar mereka sepertinya sudah memudar, dan yang terpenting hanyalah momen saat ini, dimana hubungan mereka semakin intim.

Tangan Pond menelusuri pola cahaya di punggung dan perut  sang kekasih, kemudian melepas ciumannya dengan enggan, mulutnya hanya berjarak beberapa inci dari mulut Phuwin "aku tidak pernah mendapatkan sesuatu yang lebih memabukkan dibanding ini" telunjuk Pond bertengger di bibir mungil itu.

"Humm... Jangan menggodaku..."

"PHUWIN... PHUWIN..."

Suara gaduh, teriakan lantang disertai pekikan nampak menggema dibawah sana. Phuwin melirik, dan alangkah terkejutnya saat Janhae ditemani beberapa gadis lainnya berusaha menyeret wanita itu.

"KALIAN BARU SAJA BERCIUMAN KAN?" pekikan Janhae membuatnya gila setengah mati, masih dengan wajah blank, Phuwin menggerutu.

"Aku tidak tau Janhae segila itu..." Cicit Pond ikut frustasi.

"APA KALIAN BISA MEMBAWA JANHAE PULANG?"

Para gadis lain menyembunyikan wajah menahan malu, menggotong tubuh Janhae di sepanjang trotoar jalan raya. Lampu jalan selalu terang, mengimbangi tragedi heboh di bawah sana. Phuwin menghela nafas, mendengarkan saja makian dari sang sahabat yang sudah dipaksa untuk pergi.

"Dia sangat antusias, padahal kupikir dia tidak suka jika kita bersama" Pond berbisik di telinga Phuwin, napasnya terasa panas di kulit si manis. "tak kusangka dia sangat terobsesi dengan hubungan semacam ini" Jari-jarinya menyusuri lengan itu, berhenti di pergelangan kemudian menjalin jari-jarinya dengan sang pujaan hati. "kita harus masuk, jika terlalu lama diluar, cuaca akan dingin. Kita perlu menghangatkan diri sayang, apa kau mau?" Matanya menatap ke arah mata lentik, dipenuhi hasrat dan rasa ingin tahu.

"Akhh... Tidak mau.."

.
.
.
.
.

Papan tanda kedai baru saja berdiri lebih tinggi menjelang tengah hari, lagu senandung merdu memenuhi seisi kedai. Daun jendela warna kecoklatan terlihat indah di atas dinding bercat putih dan narcisse. Beberapa bunga baru di halaman depannya apik tertanam di pot-pot, Pond menuruni tangga dengan tangan yang bertengger di dagunya. Ekspresi antara senang dan bingung, saat merasa posisi papan di atas sana kurang tepat.

"Apa itu masih belum selesai?" Segelas minuman dingin di letakkan Phuwin pada meja kayu di halaman, matanya ikut meneliti mendongak ke atas.

"Sepertinya sudah pas, iyakan?"

Phuwin tersenyum, mengangguk cepat dan memeluk lengan pria tegap itu "ini sudah pas, sekarang ayo kita makan siang. Ibumu sudah menunggu di dalam"

Matahari semakin tinggi, kedua lelaki itu berjalan semangat memasuki kedai. Pond sempat membersihkan diri, sedangkan Phuwin mempersiapkan beberapa menu makan di meja. Bahkan tak lama, kedua orang tua lelaki manis itu sudah muncul memasuki kedai.

Semacam, acara keluarga kecil. Phuwin mengulum senyum, bagaimana cara orang tuanya bersikap dan menerima kenyataan tentang hubungan pribadi mereka, adalah hadiah terindah yang pernah ia dapatkan.

Selang beberapa menit terlihat Pond Terpogoh-pogoh mendekati meja, dia tak pernah percaya keajaiban, namun melihat bagaimana hubungan mereka sudah berjalan sejauh ini, dia tak akan membantah lagi perihal itu.

Dia tak akan pernah lupa, bagaimana lelaki kesayangannya itu menatap dalam. Dia tak akan pernah berhenti untuk paham, bahwa mimpi-mimpi tentang hubungan ini pernah menghiasi malam-malam mereka dalam pelarian.

Bagai kebisuan yang meminta tempat, seperti sebuah kartu jelek di ujung tumpukan, lagi dan lagi, mereka menyimpulkan akhir untuk ketentraman di hari ini, hari yang sama dimana mereka telah berjanji.

"Selamat datang di kedai kami paman, bibi..." Pond menunduk sopan, mengundang kesan yang menyejukkan.

"Santai saja nak, duduklah... Kami sudah tidak sabar mencicipi masakan kedai mu..." Ayah Phuwin berusaha membuat situasi tak kaku, bagaimana caranya ia meletakkan jemari membuat pola acak diatas meja kemudian mulai bercekrama apa adanya.

"Aku bahkan tak takut meninggalkan anak ini ke luar kota untuk bekerja, karena sekarang tau bahwa mereka sudah menjadi kekasih. Rasanya aman-aman saja"

"Humm... Tidak sepenuhnya begitu..." Phuwin mendelik, dan bahkan memandang kekasihnya tak bersahabat "dia sering membuat ku kesal..."

"Itu hanya candaan nak, sebagian kecil pemanis dari hubungan orang-orang yang saling mencintai" tegur sang ayah, bahkan lelaki paruh baya itu sangat tulus menatap Pond. "Jika suatu saat kalian berakhir—

—tidak paman, kami tidak akan berakhir" tegap Pond, terlihat jelas matanya menatap lurus.

"Seandainya aku tidak berharga, maka Pond membuatku berharga... Dia benar-benar memberikan segala hal yang ku butuhkan"

"Tak usah membela kekasihmu seperti itu, ayah percaya Phu... Dia tak mungkin membuatmu bersedih"

"Humm... Tidak mungkin..."

Ini adalah takdir yang diperhitungkan, dimana ia benar-benar mendapat tempat untuk mengadu, untuk mengeluarkan semua air mata duka yang selalu ia khawatirkan. Pond, lelaki tampan yang selalu ada di seberang jalan. Kadang-kadang, orang menunggu tambatan hatinya untuk berlabuh. Namun ia tak melakukan itu, persis mengurai proses mendekati kedewasaan, pasangan hidupnya telah datang untuk mengiringi.

.
.
.
.
.
.
.

ENDING

Makasih banyak-banyak, jngan lupa follow yah dan ninggalin jejak sama komen buat makin semngat bikin cerita baru kapal kita💙💙💙💙





Return Place [Pondphuwin]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang