18 nc(18+)

2.5K 68 0
                                    

Yang gadis itu katakan mengenai dirinya benar, sejak kembali dari taman kota beberapa jam yang lalu dia cukup merenungkan ini. Bagaimana dulu kebahagiaan terus mengakar di hidupnya kala Phuwin dan dia masih menjadi kekasih, kemudian perlahan berubah menjadi jam-jam yang membosankan sepanjang hari. Dimana malam-malam yang ia lewati sangat asing dengan sinar lampu jalan yang perlahan redup, dia telah menghabiskan setengah duka dalam penantian panjang.

Menanti dirinya untuk terima kesalahan masa lalu, menunggu lelaki manisnya menyesal setengah mati. Semua sudah terlewati, lantas apa yang ia tunggu?

Di antara daun jendela dia melihat keluar, cahaya kekuningan dari bangunan disebelah masih jelas. Pelan dan terus-menerus dia akhirnya menumpahkan sesal, air matanya tak terbendung dalam selimut kesunyian.

Dia dengan keegoisannya tak pernah mau mengakui perihal cinta yang masih ada, sunyi dikala suara jangkrik terdengar di jendela. Dia mencoba merasa biasa-biasa saja, sebelum bayangan rindu kembali membunuhnya. Pond berjalan cepat, lebih cepat hampir berlari.

Jalanan sepi, runyamnya gelap malam disertai angin sejuk memberantas cahaya lampu jalan. Aroma citrus manis saat dia sampai didepan pintu rumah Phuwin membuat hatinya runyam, beberapa kali menekan bel dia tak kunjung mendapati pintu itu terbuka.

Saat beberapa kali, suara gaduh terdengar menuruni anak tangga. Dia terpaku sejenak, sosok manis membuka pintu kayu hampir berwarna hijau pastel. Wajah manis membengkak serta air mata yang masih membekas, tak lupa rambut berantakan langsung membuat Pond syok.

"Pond..." Cicit Phuwin pelan, dia menunduk bergelung pada selimut yang masih memeluk tubuhnya. Pria manis itu enggan menatap sang dominan, penampilannya begitu memalukan.

"Apa kau menangis?"

Tak ada jawaban, Phuwin masih diam hingga saat tubuhnya di rengkuh dalam pelukan. Tangisannya pecah, bagai setumpuk cairan coklat yang meleleh dia baru saja melakukannya. Perasaan rumit mengalir dan berkelok membelah perasaannya, kini Pond sudi untuk memeluknya.

"Maafkan Phuwin..."

"Phu... Sudah..." Tangan Pond lembut mengusap rambut legam itu, bahkan saat memberi jarak mereka menyelami netra masing-masing dengan perasaan berdebar "sudah yah... Wajahmu hampir meledak karena bengkak..."

"Tapi Pond, mau kan memaafkan Phuwin?"

"Iya sayang, jadi berhentilah menangis"

Phuwin merasa Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia mendengar kata-kata itu, kata-kata yang indah dan mustahil itu. Pond masih mencintainya?  tidak bisa mempercayainya. Phuwin bungkam mencari tanda-tanda kebohongan di mata Pond, tetapi yang dia lihat hanyalah ketulusan dan kasih sayang.

"Humm... Terima kasih, eumm... Aku sudah sudah menyakiti dan mempermainkan perasaan Pond, tapi..." Dia berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat, otaknya berputar karena angin puyuh kegembiraan. Dia melirik ke sekeliling halaman "ihh, ayo masuk... Disini dingin" setengah berharap Pond masih mau menerobos masuk dan melihat isi rumahnya.

"Maaf..." Pond mendorong sedikit lengan Phuwin ke dalam rumah, dia yang menutup pintu itu kemudian menarik si manis bersandar di tembok.  "Phu..."

"Humm..." Phuwin menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan kegugupan. 

Tiba-tiba Napasnya tercekat saat Pond mendekat, tubuh itu menempel padanya, kehangatan jelas terpancar melalui kain tipis pakaian mereka. Tangan Pond sudah terulur dan menyentuh pipinya, mengalirkan arus listrik melalui pembuluh darahnya. Dia memejamkan mata, dan hanya menikmati sensasi sentuhan lembut itu. Serasa melayang, seolah tidak ada hal lain yang penting kecuali momen saat ini.

Sesuatu yang kenyal sudah menyentuh bibirnya, lembut namun tegas, menuntut. Phuwin tak melawan, dia malah membuka mulutnya, membiarkan lidah Pond masuk ke dalam sana.

Hingga saat Lidah mereka saling bertautan, menari dalam tarian ritmis yang membuat kepala Phuwin berputar. Dia melingkarkan tangan di tengkuk sang dominan, merasakan Pond menariknya semakin dekat, seolah mencari kenyamanan dalam keakraban.

Pond akhirnya mengerang pelan, tangannya bergerak ke bawah menuju pantat si manis, meremasnya pelan-pelan. Dia menginginkan lebih banyak kontak fisik, ingin merasakan setiap inci tubuh Phuwin dalam kuasanya, mengingat setiap lekuk tubuh ramping itu. Kemaluannya berdenyut-denyut di dalam celana, ingin sekali dilepaskan.

Phuwin melepaskan ciuman, suara nafasnya terengah-engah.

"Phu, apa kau ingin kita melanjutkan ini?"

Si manis tersentak mendengar pertanyaan itu, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. "Apa nanti, aku hamil?"

"Tidak sayang, jika sekali saja. Itu tidak akan hamil, kecuali melakukannya berkali-kali" jelas Pond, meraih tubuh itu untuk kembali dipeluk.

Dia menarik napas dalam dalam, suaranya nyaris berbisik. "Baiklah, aku ingin lebih. Aku menginginkan Pond, Aku tidak peduli, aku hanya menginginkan Pond saja" Dia tidak percaya dia mengucapkan kata-kata ini, tapi dia tahu itu benar. Dia ingin Pond sang kekasih hati menjelajahi setiap inci tubuhnya, merasakan kulit lelaki itu menempel padanya, dan dia sudah tenggelam dalam pelukan.

Pond mengulurkan tangan, meraba-raba celana Phuwin, mencoba melepaskan ereksi si manis. Dia ingin Phuwin merasakan betapa dia menginginkannya, betapa dia mendambakan sesuatu yang sejak dulu selalu terbayangkan. Dia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detak menggemakan kerinduan. Bahkan Saat berhasil melepaskan kejantanan pria itu, matanya sangat sayu.

"Eughh... Pond, eumm..."

Jemarinya bermain, menggelitik lubang sempit yang nampak sudah mengedut. "Ini akan sakit Phu, tapi tidak se-mengerikan itu..."

Phuwin mengerang pelan, pinggulnya bergerak tanpa sadar melawan sentuhan sang dominan, memohon lebih. Pikirannya dipenuhi oleh aura panas yang menumpuk di antara kedua kakinya, kebutuhan untuk melepaskan diri menjadi hampir tak tertahankan. Dia melingkarkan tangan di sekitar tengkuk Pond lagi, menancapkan kuku ke kulit pria itu seolah mutlak menandai miliknya.

Phuwin melengkungkan punggung, pantatnya terangkat ke atas, menawarkan lubang sempit pada sang kekasih. Kemaluannya bergerak-gerak karena antisipasi, banyak sekali cairan pre-cum yang turun ke sofa di bawah mereka. Dia tidak percaya ini terjadi, tidak percaya Pond menginginkan dia seperti ini. Dia memejamkan mata, menyerah pada kenikmatan yang mengalir di sekujur tubuh. "Akhhh... Pond,..."

"Apa itu enak Phu?"

"Eughh... Eumm..." Dia mengangguk merasakan tangan Pond yang hangat dan kasar melingkari kemaluannya, membelai secara perlahan, juga menggoda tanpa ampun. kejantanan itu berdenyut selaras dengan detak jantungnya, memohon untuk lebih banyak kenikmatan. Dia merintih pelan, suaranya serak karena hasrat.

Lagi-lagi Phuwin hanya bisa menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan erangan saat Pond sudah memposisikan kepala penis di pintu masuknya. Dia merasakan ujung penis tebal itu dingin menekan lubangnya. "AKHHH..."

"Sayang..." Pond memejam saat kenikmatan menjalar "shhh...."

Napasnya tercekat saat Pond perlahan mendorong ke dalam dirinya, meregangnya hingga terbuka. Phuwin tersentak, tubuhnya menegang karena kesakitan dan kenikmatan. Memang menyakitkan, tapi Sepertinya tak seberapa setelah lelaki tegap itu bergerak menjadi satu dengannya.

"Ahh... Pond, please..." pinggulnya berayun ke depan dan ke belakang, meminta lebih. Seperti lubangnya dibuat untuk Pond saja, dirancang khusus agar penis lelaki itu saja yang bisa memenuhi sampai penuh. tubuh si manis bergetar karena intensitas perasaan nikmat.

"Akhh... Phu, aku tidak tau se enak ini..." Racau Pond masih mempertahankan posisinya "ahh... Shit..."

"Pond... Lagi..." Phuwin mengulurkan tangan meraih bahu lelaki itu untuk mendapat dukungan, Kemaluannya berdenyut lebih keras, mengeluarkan banyak air mani ke sofa di bawah mereka. "Lagi..." dia berhasil berseru di sela-sela napasnya.

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow dan ninggalin jejak 💙💙💙💙

Return Place [Pondphuwin]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang