43. Seperti Kentut

1.3K 158 9
                                    


Dia sedang terengah-engah di ruang tengahnya setelah menempuh jarak tiga kilo meter dengan cara jalan cepat di atas treadmill manual. Jarak hari ini lebih jauh 500 meter daripada hari kemarin.

Dia berprinsip, lebih baik merangkak sedikit demi sedikit daripada diam di tempat tidur atau menyumpal mulutnya dengan lebih banyak makanan berkalori tinggi sambil meratapi kata-kata manusia yang tak punya hati macam Moza.

"Cukup untuk hari ini," ucapnya sambil terhenyak di kursi meja makan. Cori menenggak minuman isotonik dari kulkas dengan rakus hingga tandas.

Sudah hari ke delapan dia melakukan kegiatan berkeringat ini. Setidaknya Cori sudah lolos dari tujuh hari pertama serasa disiksa neraka ketika proses pembakaran kalori ini dimulai. Kata orang, tujuh hari pertama akan menentukan apakah kamu akan konsisten untuk melanjutkan proses berikutnya atau tidak.

Tok tok tok...

"Cori, ini Abang." Gedoran yang terlampau semangat itu membuat Cori terlonjak dari kursinya.

"Abang datang..." Cori terlanjur senang dan tergesa-gesa menyongsong si calon imam meski heran dengan ritme ketukan yang terlalu... bersemangat? Tapi sedetik kemudian, dia membeku di tempat setelah mengingat satu hal krusial: dirinya terlihat sangat tidak presentatif. Rambut lepek, baju berkeringat, dan wajahnya...ewww.

"Cori, kamu udah tidur?" Lagi-lagi Ben mengetuk pintu tergesa-gesa.

Lho, suara Abang kok kayak dikejar hansip? Kebelet apa gimana? Tapi kan rumahnya di depan. Apa toiletnya rusak?

Dan masih ada sekitar seribu alasan lagi yang terbentuk di belakang kepalanya. Cori lupa dengan rencananya menyembunyikan kekacauan dirinya dan malah membuka pintu karena enggak sabaran bertemu si kekasih yang kebelet.

"Abang," sapa Cori duluan. "Baru pulang?"

"Cori?! Kamu kenapa? Pipi kamu merah banget. Kamu demam sampai keringetan begini?" Tanpa pikir panjang, pria itu menempelkan telapak tangannya di dahi Cori. "Enggak panas..." gumamnya.

Cori tadi terkekeh dan menyingkirkan tangan Ben.

Khawatirin aku tapi dia sendiri enggak sadar kalau mukanya lelah banget.

"Abang. Tenang, okay? Aku sehat seratus persen. Duduk dulu, yuk?"

Meski berjalan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Ben menurut ketika Cori menarik tangannya dan menyuruh Ben duduk di kursi rotan—tempat favorit Ben asal Cori juga ikut duduk bersamanya. Mata Ben tak lepas dari penampilan Cori malam ini

"Sebentar, aku ambil sesuatu dulu ke dalam."

Tak sampai dua menit, Cori menyuguhkan teh hangat dan satu toples kukis ketumbar jeruk yang rutin dia pesan di Romaine Bakery tanpa sepengetahuan mamanya.

Sejak kedatangannya bersama Ben tempo hari ke Romaine Bakery dan mendapatkan wejangan pernikahan, Cori ingin selalu merasa terhubung dengan Mutia walaupun tidak ada yang akan berubah dari hubungan mereka yang stagnan.

"Minum tehnya," perintah Cori. "Abang kelihatan mau pingsan. Kalau pulang dari rapat sama deputi, energinya pasti terkuras." Lagi, Ben menuruti apa pun perintah Cori.

Mungkin aku memang butuh sedikit kafein malam ini, pikir Ben.

" Kamu...habis olah raga?" tanya Ben setelah matanya menuburuk sepatu kets di kaki Cori.

"Iya. Baru selesai lari di treadmill," jawabnya sambil mengedikkan kepala ke arah rumah.

Pandangan Ben tak jua lepas meski pertanyaannya telah terjawab.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang