30. Langit Natuna

1.4K 183 18
                                    

Hari minggu kelabu.

Bukan cuacanya. Tapi hati seorang gadis yang sedang merana dirundung lara.

Cori baru saja selesai mengadu pada Tuhan selepas Salat Subuh. Dia tidak sanggup menahan bebannya sendirian.

Mau mengadu pada Sudjana? Tidak. Dia tidak mau. Cori begitu menyayangi Sudjana. Cori tidak mau papanya tercinta syok karena wanita yang telah meninggalkannya hidup bahagia dan tinggal berdekatan dengan anak perempuannya.

Papa enggak boleh tahu. Wanita jahat itu tak hanya melukai hati Papa, tapi dia juga telah membuat Papa merana seumur hidup, hingga detik ini.

Sudah cukup dia membebani papanya dengan berita batal menikah. Karena Cori yakin, bila kabar ini sampai ke telinga Sudjana, dia pasti akan membuat papanya kembali berlari ke Batam demi dirinya dalam kubangan kekhawatiran.

Terus, mau curhat ke Winnie? Jangan. Bukan berarti dia tidak memercayai Winnie, tapi sekali berita panas ini bocor ke lingkungan kantor, hanya akan memberi makan ego orang-orang yang suka bergosip. Cori tidak akan bisa lagi bekerja dengan damai di PT. Sejahtera Bersama. Apalagi kalau Moza sampai tahu. Cercaan apa lagi yang akan dia dengar tentang dirinya setelah isu kelebihan berat badan?

Tiba-tiba, satu wajah dengan senyum menawan muncul di benaknya. Wajah yang begitu murung ketika berpamitan padanya sebelum berangkat ke bandara Hang Nadim.

Enggak. Bang Ben juga nggak boleh tahu. Aku... aku belum siap.

"Haaah."

Memang curhat ke Tuhan selalu jadi jalan terbaik selama aku menghirup napas di dunia.

Menjalani hari seperti biasa setelah menemukan toko Romaine Bakery tidaklah mudah. Setiap langkah, setiap helaan nafas, membuat trauma merasa ditinggalkan kembali menguasainya.

Apa ada mantan mama? Atau... mantan anak? Andai hubungan itu bisa diputus dengan status itu. Masalahnya, dari Mama aku lahir ke dunia. Rambut lurus Mama menurun padaku. Kata Papa, Mama adalah perempuan terpintar yang pernah Papa temui. Apa aku juga harus bersyukur akan keistimewaan itu pada diriku?

Mukena dilepas, lalu dia rebahkan dirinya di atas sajadah, menutup mata, mencoba melupakan nasib jeleknya barang sejenak.

Padahal perasaan itu sudah lama terkubur, perasaan ketika menjadi anak haram yang dipendamnya seorang diri selama ini. Apalagi sejak Cori mulai menemukan cara mengalihkan rasa sakit dengan makan, lalu diberi kesibukan dengan bekerja di dapur papanya, dan mulai bekerja di PT. Sejahtera Bersama. Ditambah, sedikit banyaknya kehadiran Arga cukup membuatnya memiliki harapan untuk diterima lagi sebagai seorang manusia normal, walaupun sesudahnya Arga pula yang menghempaskan harapan itu.

Aku pikir, setelah Mas Arga mengetahui rahasia kelamku dan menerima diriku apa adanya, aku berhasil membuat masa lalu menjadi teman. Tapi...

"Haaah."

Mata gadis itu memanas, membuat kerongkongannya tercekat. Lama-kelamaan dia terisak, menumpahkan kesedihan yang terpendam melalui linangan air mata yang mengalir di pipi dan membasahi sajadahnya.

Suara ponselnya berdering pelan, ikut membersamai tangisan diamnya di atas sajadah. Cori meraih gawainya di atas nakas.

"Bang Ben video call?"

Cepat-cepat Cori hapus sisa-sisa menyedihkan di wajah bengkaknya dan memberikan sedikit sentuhan sisiran jari di rambutnya yang kusut masai. Setelah berdehem, mengatur raut wajahnya sedemikian rupa, gadis itu menggeser tombol hijau.

Yang muncul di layar Cori bukan wajah Ben, tapi pemandangan menakjubkan yang langsung memanjamakan mata sembab Cori: langit Natuna yang sedang memerah dibalik bongkahan batu-batu amat besar yang tersebar sejauh mata memandang.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang