18. Sambel Ijo Mengerikan

1.6K 187 14
                                    

"Kok kamu nggak pernah kasih tahu Mas kalau kamu temenan sama Ben?"

Kesunyian mobil Arga akhirnya pecah oleh pertanyaan seseorang yang duduk di balik kemudi, membuat Cori mendengkus kecil.

"Kenapa? Mas khawatir Bang Ben bakal 'bicara' yang aneh-aneh soal kamu?" ketus Cori.

"Kok kamu kesannya nuduh aku?! Mas nanya baik-baik, lho."

"Really?" cebik Cori tak percaya.

Cori memilih memalingkan wajahnya ke jendela, menatap para pemotor yang dengan mulusnya menyalip dengan lancar di antara mobil dan truk. Sebab, para kendaraan dengan roda lebih dari empat ini bergerak merayap menuju persimpangan lampu merah yang panjangnya hampir dua kilo meter.

Jam pulang kantor memang menguji sedikit kesabaran warga Batam yang hendak pulang ke rumah masing-masing karena harus menghadapi macet panjang di setiap persimpangan lampu merah. Apa lagi kalau sedang melewati Simpang Kabil atau biasa disebut Simpang Kepri Mall karena memang posisi Mall Kepri berada di persimpangan nan besar dan lebar ini. Mengapa dibilang besar? Karena ada delapan jalur yang berinterseksi di area ini. Belum lagi durasi satu lampu merah di setiap jalur mencapai dua belas menit!

Baiklah, cukup tentang sekelumit persimpangan sibuk ini.

"Sayang, kalau memang kamu rebel, protes padaku dengan pergi bersama laki-laki lain karena aku nggak bisa antar kamu ke reuni, Mas minta maaf. Okay? Maafin Mas, Sayang. Ya?" mohon Arga sambil memajukan mobilnya seinci demi seinci lalu tuas rem di tarik lagi karena mobil di depan tak lagi bergerak.

Kali ini Cori mengikat amarahnya kuat-kuat sebelum bicara.

"Mas beneran pergi ke Tanjung Pinang waktu itu?" tanyanya lebih lembut. Cori hanya butuh kejujuran Arga.

"Ya." Cori memutar bola matanya samar.

Lagi-lagi jawabannya berubah.

"Sama siapa?"

"Sama Mama."

"Tapi Mas sendiri yang bilang Mas nggak punya saudara di sana."

"Memang. Mama punya urusan mendadak. Mas nggak mau Mama pergi sendiri."

"Aku bisa konfirmasi sama Mama?"

"Untuk apa?!" Arga seketika panik. "Kamu nggak percaya aku? Kamu anggap apa hubungan kita tiga tahun ini? Kamu buat aku kecewa, Cori."

Kali ini tuas rem dilepas kasar dan mobil melaju kencang walaupun hanya berjalan dua meter. Badan Cori sampai terhuyung ke depan gara-gara Arga menginjak rem dengan tergesa-gesa.

"Mas! Bisa lebih tenang bawa mobilnya?!"

"Kamu yang bikin aku kayak gini!" geram Arga.

Bulu roma Cori tiba-tiba meremang, merinding. Dia merasa terancam untuk alasan yang dia tidak tahu.

"Kenapa Mas malah marah?" katanya melembut. Cori tidak mau mau memancing pria di sebelahnya lebih jauh. "Aku hanya ingin tabayun. Nggak boleh?"

"Itu sama saja kamu nggak percaya aku lagi." Arga mulai gusar.

"Bagaimana mau percaya kamu ke Tanjung Pinang kalau aku lihat seseorang mirip kamu ada di depan kafe tempat aku reuni," ujar Cori sambil menoleh lemah ke kekasihnya. "Dan lebih parahnya lagi, dia sedang mencium kening kakak kelasku mesra di depan Bang Ben." Cori meremas jemarinya yang mulai tremor.

Percayalah. Butuh tekad dan pengendalian emosi yang kuat hanya untuk mengucapkan kalimat tadi. Suaranya bergetar tertahan, sekaligus menahan gejolak ingin menangis. Menangisi nasibnya yang malang. Tapi Cori tidak mau menangis di depan pria ini.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang