31. Rutinitas Baru

1.4K 184 13
                                    

Kedatangan seorang wanita cantik yang dengan anggunnya berjalan dengan percaya diri dan senyum menawan, membuat semua orang yang ada di ruangan pelayanan PT. Sejahtera Bersama Cabang Legenda menatap tanpa putus. Ada yang mengagumi dalam diam, ada pula yang tak segan memuja dengan gumam.

Agni menikmati puja-puji itu. Dia sudah terbiasa membawa kecantikan alaminya untuk memesona orang lain, membuat pukau di mata lelaki, atau pun wanita, baik muda atau pun tua. Bahkan Ben tergila-gila padanya, memuji betapa cantiknya dia, dan ingin memilikinya dengan mengikat dirinya pada sebuah pernikahan nan sakral.

Sayang, Agni merasa kecantikannya bukan untuk di kekang. Agni masih ingin dipuja oleh semua orang. Agni masih ingin mendapatkan perhatian tak hanya dari kekasihnya yang hanya berharap dari dia saja puja itu datang, hanya untuknya saja keelokan itu ditujukan, tapi dari semua makhluk bumi. Ben tidak boleh melarangnya.

Itu dulu.

Sekarang, setelah berpisah itu nyata, rasa kehilangan akan seseorang yang memuja dengan tulus semakin pekat. Agni, ternyata masih mencintai pria itu. Tapi yang dia dapati, mata memuja Ben tidak lagi mengelukan keindahannya. Yang ada, Mata Ben memuja seorang perempuan gemuk yang seolah-olah sedang tersenyum tulus pada nasabah yang sedang memberikan gelang emasnya. Mata Ben seakan takluk pada sosok menggumpal yang dilihat beratus kali pun, jauh dari kata menarik, cantik, anggun, tak seperti dirinya tentunya.

Lihat-lihat, tidak ada pinggang karena tertutup lemak. Lengannya Demi Tuhan, seperti betisku. Dan... ya ampun. Itu paha, atau bongkahan lemak?

Agni melewati Cori dengan sorot mata mencemooh kemudian dia berlalu dan memasuki ruangannya.

Sementara itu, Cori tak menyadari sorotan mata merendahkan itu. Sebab, dia dan Winnie masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja front liner.

"Terima kasih telah bertransaksi dengan kami Bapak Junaedi," ucap Winnie sebagai salam penutup pada nasabah terakhir hari ini.

"Sama-sama Mbak."

Dengan keluarnya nasabah, Tonggo si sekuriti shift pagi menutup rolling door, pertanda jam pelayanan berakhir agar menahan nasabah lain untuk tidak ada lagi yang masuk ke dalam.

Cori dan Winnie serempak menghempaskan punggung mereka ke sandaran kursi setelah menghadapi bertubi-tubi nasabah hari ini, membuat mereka nonstop bekerja tanpa jeda.

"Kak, gue mau pipis. Udah nggak kuat lagi nahan dari tadi. Nasabah datang terus, sih."

Cori meringis prihatin. "Iya. Pergi sana."

Cori capek. Punggungnya nyeri, pantatnya pegal, dan semua otot tubuhnya kaku. Tapi kalau laporan-laporan ini tidak segera di selesaikan, dia sendiri tidak akan tenang dibuatnya.

Maka dari itu Cori putuskan untuk memaksa jemarinya  bergerak di depan komputer merekap pekerjaan hari ini.

Suara getar ponsel yang berasal dari dalam laci otomatis mengalihkan perhatiannya. Tidak peduli dengan tumpukan pekerjaan yang menunggu, Cori meninggalkan keyboard dan buru-buru meraup si gawai agar getarnya segera berhenti dan mendengar suara yang dirindukannya.

Sudah berhari-hari dia begini gara-gara  sebuah telepon.

Tuhan... boleh nggak sih kangen dia?

"Abang," bisiknya girang pada si telepon genggam.

"Hai. Sudah tutup layanan?"

"Baru aja."

"Aku punya kabar buruk. Dan aku. Tidak. Suka."

Seluruh indra Cori menjadi waspada gara-gara frasa itu.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang