41. Apa Rasanya?

1.3K 160 7
                                    

Perjalanan bolak balik antarpulau yang dilakukannya dalam seminggu membuat tubuhnya butuh istirahat. Ben sedang berada dalam posisi jenuh dan butuh dijauhkan dari yang namanya pemeriksaan unit, laporan, komputer, laut, perahu, dan kantor.

Ben butuh menggerakkan tubuhnya yang pegal gara-gara terombang-ambing di S yang membatasi Batam dan Singapura. Dan Ben butuh menyegarkan matanya dengan pemandangan yang segar-segar seperti... menatap wajah si Gadis Ketumbar.

Ben rindu gadis gempalnya.

Maka dari itu, dia sudah berdiri di depan pintu nomor lima lengkap dengan celana basket selutut, baju kaus putih, topi, dan sepatu kets. Sudah lama Ben dan kekasihnya tidak melakukan kegiatan berkeringat di Alun-Alun Engku Putri.

"Cori, ini aku," sorak Ben, kemudian dia mengetuk si daun pintuk tiga kali.

Lima menit menunggu, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam yang Ben dengar.

"Apa Cori belum bangun?" gumam pria itu.

Ben mengetuk pintu putih itu sekali lagi. Setelah satu menit penuh menunggu, Ben mendengar langkah kaki terseok-seok mendekati pintu. Dada Ben berdebar entah untuk apa dan dia berdehem beberapa kali. Padahal, baru semalam mereka
menghambiskan waktu di restauran Korea dan Ben hampir melakukan hal di luar nalarnya.

Pshhhhh...

Pipi pria ini memanas mengingat kelakuannya. Lebih tepatnya pikirannya yang meliar.

Sadar Ben, peringatnya dalam kepala. Jaga Cori dari pikiranmu!

Ben kembali menata ekspresinya.

Muka bantal, mata sembab, rambut mencuat di mana-mana, dan wajah polos tanpa apa-apa menyambut Ben di pangkal pintu. Tak sadar garis senyumnya tertarik ke kiri dan ke kanan.

"Pagi Coriander," sapa Ben riang.

"Hm. Pagi," balas suara serak itu. Cori menyugar rambut kusut masainya agar lebih presentable, sedikit.

"Baru bangun?" Cori mengangguk, kemudian mulutnya menguap lebar.

"Salat Subuh?"

"Lagi libur."

"Ooh."

"Bang Ben mau ke mana? Rapi bener." tanyanya. Matanya mulai mengintip dari balik kelopak yang terekat erat demi sosok tegap yang sudah rapi dan... harum. Indra penciumannya menangkap aroma kayu, rempah, dan alam, membuat mata Cori jadi terbuka lebar. Begitulah efek Ben pada dirinya.

"Olahraga, yuk?" ajak Ben tanpa basa basi.

"Yang benar aja Abang." Gadis itu memutar bola matanya. "Aku masih pengen tidur," protes Cori. Cori memilih duduk di kursi rotannya dan menyandarkan diri sambil memejam mata.

Sisa mengantuk tadi masih ada dan kalau bisa Cori ingin memanfaatkan waktu yang sedikit ini untuk menyambung mimpi.

Meski kecewa, tapi Ben tetap mengekori kekasihnya untuk duduk di seberang meja. Pria itu mengamati wajah gadisnya yang disapu sinar keemasan mentari pagi dan lampu teras yang tak lagi berfungsi, sebab matahari perlahan bangkit dan kini menyinari teras kecil rumah nomor lima.

Diam-diam, Ben mengambil kesempatan merekam seseorang yang mencoba berinisiasi untuk tidur kembali. Rambut legamnya tergerai berantakan, namun tetap berkilau. Tangannya tak sadar menjangkau sejumput rambut Cori di bahunya dan mengelusnya pelan-pelan.

Lembut...

Kini, matanya menelusuri alis kekasihnya yang bak semut berarak. Tebal dan tumbuh alami. Matanya...

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang