47. Maaf Yang Terlambat

2.2K 205 12
                                    

Ben mendongak dari komputernya, mendapati seorang sekuriti berdiri ngos-ngosan di depan ruangannya. Lantai tiga memang membuat respon tubuh seperti itu.

"Ada apa Pak Yusep?"

"Ada ibu-ibu yang cari Bapak di bawah. Katanya, bisa bertemu dengan Nak Ben?"

Nak Ben? Siapa yang memanggilku Ben di sini?

Si Auditor mendekati Yusep dengan keningnya yang mengernyit dalam.

"Dia memperkenalkan dirinya, Pak?"

"Namanya Bu Mutia, Pak."

"Suruh tunggu di ruang nasabah, Pak. Saya akan turun dalam lima menit," tegas Ben tanpa pikir panjang. Ben harus bicara dengan mama Cori, sekarang atau tidak selamanya.

Dua sosok beda generasi itu tengah berada di Good Day Bakery di Pasar Mega Legenda--satu-satunya tempat yang paling layak untuk bicara serius. Mereka duduk berhadapan dalam diam meski jalan pikiran seperti pasar. Semua terlihat dari wajah masing-masing.

"Ibu...Ibu minta maaf, Nak," getaran suara itu mengalirkan penyesalan. Ben mengangkat kepalanya cepat dari cangkir kopi.

"Kenapa Ibu minta maaf?" Interaksi mereka untuk pertama dan terakhir kalinya terjadi ketika Ben dan Cori belanja di toko roti Mutia. Jadi Ben dalam keadaan sangat bingung, apa kesalahan yang diperbuat Mutia padanya.

"Karena... gara-gara Ibu, pernikahan kalian batal. Maafkan Ibu..."

"Gara-gara Ibu? Ibu tidak berbuat salah pada kami, Bu. Jadi berhenti minta maaf, ya," ucapnya menenangkan.

"Tidak, Nak." Mutia memijit-mijit ujung jarinya sembari mempersiapkan dirinya dengan sebuah cerita. "Ibu mau jujur..."

Dan cerita Mutia tumpah. Dengan susah payah Mutia menggelontorkan rahasia kelam masa lalunya, tanpa ada yang ditutupi. Mengenai dia, Sujdana, dan Cori. Mutia tidak akan menyembunyikan apapun lagi, tidak pada dirinya, tidak pada orang lain.

Aah, ternyata beliau pun sudah tahu siapa Cori selama ini...

"Ma..."

Terbelalak mata Mutia dibuatnya. "Kamu memanggil Ibu, Ma?"

"Boleh Ben panggil Mama kan, Ma?" ucap Ben lembut.

Setelah menyeka sudut matanya, Mutia mengangguk bahagia. "Boleh, Nak. Sangat boleh."

Ben mengucapkan terima kasih, kemudian berkata, "Ma, meskipun Mama memberi tahu Bunda fakta tentang keluarga Cori, Ben sudah tahu Bunda tidak akan menyetujui kami. Ben sudah mempersiapkan diri untuk itu. Jadi, Mama tidak boleh merasa terbebani, ya?"

"Tapi Nak, gara-gara Mama...gara-gara kebodohan kami dulu, Mbak Popy membenci status Cori. Mbak Popy menentang rencana pernikahan kalian. Mama sudah memohon berkali-kali agar Mbak Popy mengubah keputusannya. Namun, sampai sekarang dia kukuh akan pendiriannya. Katakan Nak, apa yang harus Mama lakukan?" mohon Mutia dalam keputusasaannya.

"Aku...yakin kalau kita memang berjodoh, apapun halangannya enggak akan bisa memisahkan kita. Aku percaya itu."

"Seperti kata Cori ke Ben waktu itu, bila memang berjodoh, kami pasti akan bersatu bagaimanapun caranya," ucap Ben pahit. Dadanya berdenyut nyeri, seakan baru semalam Cori mengatakannya dengan suaranya yang lirih dan rapuh, yang memporakporandakan dunianya dalam lima menit.

"Ben..."

"Ma, cukup doakan kami, ya? Apapun yang diberi Tuhan pada kami, Ben percaya itu yang terbaik bagi kami, bagi semua orang."

"Mama selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Hanya itu yang bisa Mama beri sekarang. Tapi tetap saja, Mama harus meminta maaf langsung pada pada kamu, pada...Cori juga. Tapi kok tadi ndak ada Cori, ya? Biasanya dia duduk di meja tempat menerima nasabah."

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang