1. Perkara Ketumbar dan Menjawab Telepon

9.1K 366 16
                                    

12 tahun yang lalu...

Zaman putih abu-abu, masa di mana dunia remaja tak selamanya indah.

"Papa nyebelin banget. Ini nih, gara-gara kasih nama anak yang nggak normal. Nambah lagi julukan Cori di sekolah!"

Ujug-ujug, Cori masuk ke rumah dalam keadaan hati membara, bajunya basah bermandi keringat karena mesti jalan kaki dari gerbang kompleks ke rumahnya. Bibirnya manyun, keningnya seperti tidak di setrika. Tas main lempar ke sofa di ruang menonton. Kursi malang di ruang makan mendapatkan kekuatan hempasan pantatnya.

Pasti karena lapar nih, bersit Sudjana dalam hati.

Pria kepala lima ini hafal betul kebiasaan anaknya. Lapar bikin Cori gampang emosi. Satu-satunya obat adalah 'menyumpal' mulut anaknya dengan makanan yang penuh ledakan cita rasa masakannya di lidah. Kalau kata orang, masakannya 'bikin lidah bergoyang'.

Sudjana tersenyum membelakangi anaknya karena sedang konsentrasi mengulek sambal bawang dan sesekali mengaduk si calon rendang di kuali.

"Anak Papa pasti lapar nih. Cuci tangan, ambil piring, terus makan. Ngomel-ngomelnya dilanjutkan nanti," perintahnya. Sudjana masih setia mengulek si cabe yang sudah hampir lumat seutuhnya.

"Iiih. Papa kayak nggak ngerti, deh. Orang lagi kesel tuh didengerin. Bukan disuruh-suruh!" Tambah mencak-mencak si Cori.

"Ada kalio, lho."

"Yaaah, kenapa Papa nggak bilang dari tadi?! respon gadis itu spontan. Membuat Sudjana geleng-geleng kepala.

Perihal nama sudah tak tersentuh lagi. Tapi Sudjana tahu, ke mana arah perkara nama ini akan bermuara.

Seorang Cori tidak tahan dengan pesona kalio buatan chef hotel yang telah mumpuni di bidangnya belasan tahun, yang kini sedang menyalin kalio mengepul ke piring.

Cori langsung cuci tangan, mengambil piring dan menatanya di meja dekat dapur--meja kayu persegi imut untuk dua orang saja. Tanpa merasa perlu mengganti baju, Cori sudah standby dengan makan siangnya. Dia tidak takut seragam putih abunya terkena cipratan kuah kalio yang pekat dan berwarna kuning.

Duh, pipinya kalau lagi makan, bikin gemes, batin Sudjana. Menggembung bak ikan puffer. Menonton anak satu-satunya makan dengan lahap sudah membuat pria paruh baya itu kenyang.

"Tambah lagi, Nak. Papa bikin dua kilo daging."

"Banyak amat, Pa," kata Cori di sela kunyahannya. Tapi tanpa ragu, Cori mengambil satu potong daging lagi.

"Karena hari ini Papa lagi off, Papa mau bikin stok rendang untuk di kulkas. Sayur dimakan, Nak."

Cori langsung meringis. Cori tidak suka sayur. Cori tidak suka dedaunan. Cori tidak suka tumbuhan berklorofil itu. Titik!

"Ganti sama makan buah aja deh, Pa," rengek Cori manja. Tapi rengekan tadi tidak mempan bagi Sudjana.

"Keduanya saling melengkapi asupan vitamin dan mineral, bagus untuk kamu yang lagi sekolah, yang otaknya tidak bisa berhenti berpikir, dan yang masih dalam masa pertumbuhan. Banyak manfaat makan sayur...."

Dan bla... bla... bla... Cori tidak lagi mendengar nasihat sang papa. Papa kalau udah ceramah bisa satu jam pelajaran. Eh...CORIANDER! Setelah perutnya setengah terisi, barulah perkara nama muncul kembali. Kalio membuat otaknya kembali berfungsi.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang