48. Waktu Kita (End)

6K 326 68
                                    

Bacanya santai aja ya, jangan ngebut. Ini... Ini.. Adalah pertemuan terakhir kitaaa 😖🙋

---

Cori menemukan kenyamanan duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Perasaan hangat menyergap secepat maaf yang datang meski terlambat. Hatinya yang kosong akan kasih sayang mulai terisi sedikit-sedikit. Tidak mengapa. Semua butuh proses, butuh waktu.

Dan yang lebih menyenangkan adalah, Mutia tak melepas genggaman tangannya dari tangan Cori yang tak lagi membengkak. Meski tangannya kaku digenggam sejak tadi, Cori memprediksi kegiatan baru ini bakal mengasyikkan.

Abang pasti seneng kalau tahu Mama menemuiku...

Sedetik kemudian, dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menyesal karena membiarkan dirinya ceroboh meliarkan pikirannya akan angan indah tadi.

"Kami berdua menemui Popy dua hari yang lalu," cetus Sudjana tiba-tiba.

"Untuk apa, Pa?"

"Bisa dibilang, memperbaiki sebuah hubungan yang seharusnya bersatu sejak lama," sambungnya misterius. Cori mengernyitkan keningnya.

"Percaya atau tidak, Mbak Popy duluan yang menghubungi papamu. Dia curhat, Ben menolak semua bakal calon istri yang Mbak sodorkan setahun belakang. Mbak Popy ndak tega lihat anaknya selalu bermuram durja setiap setelah memandang foto kamu di ponselnya. Sekarang, Ben jadi sangat jarang pulang semenjak dia dimutasi ke luar Batam. Mbak merasa Ben menjauhi rumah-nya"

Abang...

"Untuk apa Mama dan Papa memberi tahu Cori informasi tadi?" pungkas Cori mencari ujung dari pembicaraan ini.

Terlalu banyak informasi enggak penting tentang dia Ma, Pa. Sedetik kemudian Cori meralat pikirannya sendiri. Oke, oke. Penting banget!

"Kabarnya Ben ada di Jakarta," tukas Mutia.

Abang memang di Jakarta, sih. Tapi...

"Papa tahu kamu belum bisa melupakan Ben sebagaimana Ben juga ndak bisa melupakan anak Papa. Jadi, mulailah petualanganmu lagi dengannya, Nak. Kamu telah mendapat restu dari kami, para orang tua."

***

Seseorang meletakkan piring nasi pecel di depan piring nasi iga bakarnya. Belum jadi mendongak melihat siapa pelakunya, Ben dibuat kaget setengah mati dengan suara yang menyapanya.

"Abang kenapa makan sendiri?"

Berkali-kali matanya berkedip membersihkan debu atau apapun yang mungkin mengganggu penglihatannya. Ben pikir ada yang salah dengan matanya. Nyatanya tidak. Tidak ada yang salah, hanya sosok itu saja yang tampak berbeda.

Aku...enggak mimpi, kan?

Dan sosok itu duduk dengan anggun di seberang meja kantin PT Sejahtera Bersama dengannya. Padahal masih banyak meja kosong lain tak berpenghuni. Tapi dia justru tidak akan protes.

"Ada nasi di dagu Abang. Udah gede makannya masih belepotan."

Sebutir nasi itu kini masuk ke piring nasi pecelnya. Ben menganga seperti orang bodoh.

Darahnya berdesir hebat gegara sentuhan tadi. Dia yakin semua penghuni kantin tengah melihat aksi kecil barusan. Tapi Ben tidak peduli. Dia lebih peduli dengan sosok yang sedang memakan sayur-sayur hijau tanpa wajah penolakan.

Kamu makan sayur sekarang... How...?

Dia yakin rasa itu tidak pernah berubah meski seseorang yang sedang memakan nasi pecel dengan lahap ini telah berubah banyak. Tidak ada pipi chubby lagi, rambut lurusnya menjuntai bebas di atas bahunya dengan lentik ke dalam. Namun, cantiknya tetap di sana. Mau pipinya tirus atau chubby, Ben pun tidak mau peduli. Sebab, kecantikannya masih sama seperti yang terakhir kali Ben rekam dalam memori di bandara Hang Nadim ketika dia mengantarnya keluar dari Pulau Batam 547 hari yang lalu.

A Healing Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang