Geneva Memorial School (GMS) dikenal sebagai sekolah pembuangan yang terletak di tengah hutan. Namun, tak ada yang mengetahui di balik kata pembuangan tersebut. GMS memiliki sistem yang membuat semua murid harus berjuang mempertahankan diri.
"SISTEM...
Note : Cerita ini diluar nalar, jadi nggak usah ada yang protes.
—SISTEM BERANTAI—
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gelar Master dibagi tiga kelas yang setiap muridnya berisi 35 siswa. Master 1, 2, dan 3. Sementara Bon-bon sendiri menempati kelas Master 1. Saat kakinya menginjak di kelas M1, degup jantung Bon-bon seketika bertalu-talu. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipis, ingatannya berputar mengenai kejadian kemarin saat di mana ia melakukan metode pencucian otak. Rasa sakitnya masih sangat terasa. Di mana sekejur tubuhnya terasa seperti di sengat oleh tekanan listrik yang tinggi juga otaknya yang terasa seperti meledak. Ah, mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduknya kembali merinding.
Sekarang, selanjutnya apa? Bon-bon benar-benar dihantui rasa takut yang luar biasa. Ia mendudukkan diri di kursinya di barisan kedua. Tak lama, seorang guru perempuan dengan penampilannya yang begitu rapi memasuki kelas seraya membawa sebuah tumpukan kertas. Tak ada kata basa-basi untuk menyapa muridnya, guru bernama Buk Arumi itu langsung membagikan tiga lembar kertas tersebut di setiap meja.
Kertas itu ternyata sebuah soal-soal yang harus mereka jawab. Di sana juga sudah tercantum waktu yang diberikan untuk mereka mengerjakan soal, yaitu 15 menit dengan 50 soal.
Buk Arumi melirik arlojinya setelah selesai membagi kertas soal tersebut. “Waktu kalian 15 menit, silakan di mulai.”
“Shit,” umpat Bon-bon yang langsung mengerjakan soal tersebut.
Dengan kemampuannya, Bon-bon berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan hasil terbaik di tes kali ini. Bon-bon tahu, pasti pihak guru akan mengetes kemampuan setiap muridnya setelah metode pencucian otak kemarin. Apa setelah pencucian otak kemarin IQ mereka akan bertambah, berkurang, atau malah tetap stuck di situ.
Sebuah kegagalan membuat siapa pun merasa takut. Seperti salah satu murid yang duduk di samping Bon-bon, dia mengerjakan soal-soal tersebut dengan tangan bergetar. Bahkan lembar soalnya sudah terkena tetesan keringatnya yang mengucur di tangan.
“Selesai! Angkat tangan kalian ke atas!” seru Buk Arumi yang langsung mengambil kembali lembar soal yang muridnya sudah kerjakan.
“Bro, lo aman?” tanya Bon-bon pada teman di sampingnya.
“A-aman. Enggak terlalu buruk,” ucap cowok itu bernama David Joe Arhan. “Kalau lo gimana? Aman?”
“Enggak yakin gue,” jawab Bon-bon dengan helaan napasnya.
“Kalau nilai kita di bawah rata-rata, kita bakal diapain, ya?”