BAB 5 - Uni

177 13 5
                                    

Ramein dong



























Pikiran yang masih bergelut mencegahku untuk menutup mata. Jam menunjukkan angka 12 malam. Setelah makan malam aku sempat menonton film dengan keluargaku hingga setengah 10 malam semua bergegas menuju kamar masing-masing dan mengistirahatkan diri.


Well, aku heran dengan orang-orang yang gampang mengantuk dan pelor. Nempel molor. Alias dimanapun bisa tertidur nyenyak.

Berbeda denganku, meski hari ini cukup berat namun saat mau tidur masih dibebankan lagi pikiran yang berkelana.

Mungkin biasanya aku tidur jam 2 sehingga membuatku tidak bisa tidur sedari tadi. Hanya gelimpang gelimpung di atas kasur kanan kiri mencoba untuk tidur.



Jika pikiranku mengenai kepanikan saat mama memergokiku di kafe jawabannya adalah tidak. Nyatanya mama santai saja begitu pula papa yang sepertinya belum mengetahui hal itu hingga saat ini.

Aku cukup lega dengan hal itu setidaknya ada waktu bagiku bernafas sebentar untuk menghadapi masalah. Aku tidak ikut makan malam sebab setelah nongkrong aku diajak Erca singgah sebentar di warung sate sebab Erca yang kepengin dari lama.




Atau mengenai mama yang kenal dengan Yumi waktu di kafe itu juga bukan hal yang memenuhi pikiranku saat ini. Ternyata Yumi pernah berkunjung ke rumahku dulu. Dia sering diminta temani Mamanya jika bertemu dengan Mamaku.


"Loh ternyata Kak Mela itu Kak Hanin ini tante?" tanya Yumi.

"Iya, kalian udah kenalan?"

"Udah tan, udah ngobrol banyak juga." Yumi tersenyum kearahku.





"Gimana?" tanya mama meminta pendapat Yumi terhadapku.

"Kak Mela asik kok tante, enak diajak sharing. Eh ini aku boleh manggilnya Kak Mela?"

"Boleh, Hanin itu kalau di rumah dipanggil Mela."

Bukan, bukan aku yang menjawab, melainkan mama.




Ya memang aku punya berbeda nama di keluarga dan teman. Aku dipanggil Mela oleh keluargaku, seringnya kakak.

Sedangkan temanku memanggilku Hanin karena cukup panjang dan sulit memanggilku Caramella sehingga aku mempersingkatnya dengan memperkenalkan diriku, "panggil Hanin saja."



Sepertinya mereka berdua akrab satu sama lain. Mama juga kelihatan antusias saat ngobrol sama Yumi hingga melupakan di sini masih ada teman-temanku yang lain. Anaknya saja nggak dilirik apalagi yang lain.




Mama belum kenal dengan teman-teman atlet. Hanya tau nama saja saat aku menceritakan. Setidaknya hal itu berlaku sebelum hari itu mama bertemu teman-temanku dan aku mengenalkan mereka kepada mama.



Mama tipe ibu yang welcome kepada semua teman anaknya bahkan dulu temannya abangku sering main ke rumah dan menginap. Aku bersyukur akan hal itu, selain mama sayang anaknya juga sayang teman anaknya dan membuat mereka nyaman ngobrol dengannya.














Namun bukan itu sesuatu yang kupikirkan saat ini. Teringat pembicaraan setelah makan malam minggu lalu. Membicarakan aku yang sampai saat ini belum mengenalkan atau memperlihatkan pasangan.

"Latihannya sibuk ya kak? Uni belum denger Kakak pacaran selama ini." ucap Uni mengawali pembicaraan.


"Iya Uni. Boro-boro punya pacar. Weekend aja aku sama bola."

"Mama aja kalau mau ditemenin kemana harus ngalah sama bola, ck."

"Jangan dulu pacaran kak masih kecil. Kejar cita-cita aja."

"Ini nih papanya overprotectif sama anaknya." kesal Mama.

"Biar. Orang masih kecil belum waktunya pacaran. Agama mengharamkan, Ma."

Mendengar ucapan Papa membuat mama semakin menatap Papa sebal.





"Aku belum niat pacaran sih. Tujuanku ikut di klub atlet juga belum tercapai. Masih ada perlombaan yang kukejar lagi." ucapku menengahi mereka yang kebelet lihat aku menggandeng cowok.






Selama ini aku belum pernah mengajak cowok satupun main ke rumah. Bahkan teman-teman yang dekat denganku rata-rata cewek.

Saat SMP dulu aku pernah punya teman cowok namun tidak pernah kuajak main ke rumah sebab tidak ada kesempatan untuk itu lagi pula mau ngapain ke rumah kalau tidak ada kegiatan.

Masih ingat tujuanku untuk ikut klub. Bisa dibilang cita-cita untukku saat ini.

Ikut perlombaan nasional maupun internasional dan mendapatkan medali, syukur-syukur perunggu kalau lebih beruntung lagi emas, bersamaan dengan mendapat gelar sarjana.

Baru setelah itu aku mencari pasangan yang bersedia untuk kujadikan suami.

Tentu, aku ingin pacaran sekali langsung nikah dan langgeng sampai akhir hayat.

Hal itu harus bersabar menunggu setidaknya 3 tahun kedepan. Namun keluargaku saat ini saja sudah mencecarku seorang pacar.

Bukan tanpa alasan, aku hanya tidak ingin terlibat drama percintaan yang lebay seperti bosan bahkan perselingkuhan. Aku sudah pusing dengan masalah pendidikan dan karir tidak ingin ditambah pusing masalah cinta. Bukan aku tidak pernah pacaran. Aku pernah sekali pacaran itu pun diam-diam saat aku smp dengan temannya temanku.

Berakhirnya hubungan kita setelah 2 tahun karena aku yang terlalu tertutup dan menjadi bagian pasif yang menurut pacarku waktu itu menjadi serba salah. Untung saja saat putus aku tidak menangis mewek seperti perempuan kebanyakan.




Akhir dari pembicaraan, Uni hendak mengenalkan cucu temannya yang juga seorang atlit. Entah cabang olahraga apa Uni pun lupa. Maklum sudah berumur sepuh.


"Sama cucu temannya Uni aja, Kak. Dia juga atlit."

"Anaknya siapa, Bun?"

"Betari. Nggak mungkin kamu nggak kenal wong dulu sering ketemu kok."




Sedikit kesal dengan perilaku Uni yang memaksaku dekat dengan laki-laki bahkan sampai dijodohkan seperti itu. Namun aku memakluminya, di umur Uni yang sudah berkepala tahun ke delapan puluh ini ingin melihat cucunya mempunyai pasangan. Apalagi kedua abangku sama-sama sibuk hingga tidak pernah pulang atau mengenalkan teman perempuannya kepada keluarga kami.


"Oala Tari. Iya kedua anaknya jadi atlet katanya. Yang satu udah masuk timnas kemarin yang satu lagi baru masuk klub olahraga. Coba kenalan dulu aja kak siapa tau cocok." bujuk Mama.

"Nggak usah peduli papamu yang ngelarang. Mama dukung kamu. Usia udah kepala dua kok belum punya pacar. Entar nggak laku nggak nikah-nikah mau?" kalimat Mama yang terakhir membuatku takut dan ngeri.

Enak saja.

Papa hanya berdehem menanggapi dan aku pun menjawab, "terserah."


Jawaban itu membuat Uni tersenyum.

"Hubungi Tari, Vi, suruh main ke rumah aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apa kabarnya saat ini?"

"Oke Uni nanti aku hubungi,"

"Aku sudah lama nggak ketemu dia. Terakhir kali waktu dia nyamper suaminya kerja di Jakarta, Ni."


Uni dan Mama lanjut mengobrol, sedang aku pamit kembali ke kamar.

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang