BAB 23 - First Love

90 6 0
                                    

Pagi hari aku melihat papa sedang berjemur di teras depan. Kuhampiri dan kupeluk menyalurkan semangat pagi ini.

"Pagi papa!" sapaku.

"Gimana keadaanya pa? Sudah lebih baik?"

Papa mengangguk, "Papa rindu adek."

"Sama. Kemarin waktu papa sakit adek sempat mimpiin papa." Aku mengambil duduk di kursi sebelah papa.

"Gimana mimpinya?" Papa sudah siap mendengarkan ceritaku.

Sudah aku bilang bukan, papa itu pendengar yang paling baik menurutku. Dia cinta pertamaku yang memberi pelukan jika aku bersedih, memberi kasih sayang dari aku kecil, memberi kekuatan jika aku down, memberi telinga jika aku bercerita, memberi senyuman sebelum aku tidur, dan pastinya memberi badan untuk menjadi tamengku dari orang lain yang menyakiti putri semata wayangnya. Aku mencari diri papa di orang lain ada tidak ya. Rasanya aku ingin terus menjadi anak kecilnya papa. Namun aku sadar tidak selamanya aku menjadi anak kecil papa suatu saat nanti aku akan memiliki suami dan mengikuti dimanapun dia tinggal. Jika aku menjadi anak kecil papa terus aku tidak akan bisa membahagiakannya membuatnya bangga anaknya ini bisa meraih impiannya di waktu muda. Aku selalu berharap suatu saat itu akan terjadi. Papa dengan senyuman bangganya mengembang sempurna dengan mengangkat dua jempolnya saat melihatku bersorak kegirangan mendapatkan piala dan medali.

"Dek, dijadikan pelajaran ya untuk kedepannya. Disaat kamu bersedih ingat papa yang selalu memberikan pelukan kepada anaknya. Dimanapun berada meskipun jauh sekalipun papa tetap memberikan pelukan. Adek boleh bersedih namun masih harus bisa melaksanakan tugasnya. Seperti kata papa di mimpi adek. Bahwa benar tugas adek di asrama latihan yang rajin dan semangat. Nggak boleh lemes kasihan teman yang dipasangkan pasti dia keteteran menerima umpan lawan sendirian. Sedang adek tidak fokus saat latihan. Kasihan temanmu yang lain pasti juga kena imbasnya. Mereka khawatir sama kamu kalau kamu murung bersedih."
Papa menarik nafasnya guna mengisi oksigen di paru-paru.

"Adek boleh bersedih tapi harus ingat masih ada tugas yang harus dilakukan dan lingkungan yang akan turut bersedih. Jadi secukupnya ya. Kalau tau adek kayak gitu dari kemarin papa udah marahin adek aja waktu di mimpi." Aku mengangguk mendengarkan ucapan papa.

"Gimana sama Nando?"

"Baik. Dia sering ngasih makanan terus teman kamarku akan bersedia mengambilnya. Sebab ada waktu untuk keluar. Makanannya berbeda-beda namun buah dan pocari yang tidak pernah absen. Beberapa hari ini kita nggak komunikasi karena aku lagi sedih. Tapi kemarin kata abang dia yang meminta izin untukku."

Papa mengangguk. "Dia melakukan tugasnya dengan baik." Tangan papa menepuk kepalaku.

"Anak perempuanku sudah besar. Sudah bisa memilih cita-cita yang ia raih. Bahkan apapun resikonya dia ambil. Nggak nyangka waktu cepat berlalu bahkan rasanya baru kemarin papa menggendong bayi mungil dan mengadzaninya. Sekarang sudah ada lelaki yang ingin menggantikan tugas papa untuk menjaganya."

Memori waktu aku kecil pun tergambar kembali. Dulu waktu aku belum bisa naik sepeda, aku ingin belajar naik sepeda sebab melihat teman-teman seru bermain sepeda. Sedang aku hanya duduk mencampur adonan tanah dengan air.

Waktu itu kakek yang akan mengajarkanku naik sepeda di halaman depan rumahku yang kebetulan luas sebab digunakan parkir kendaraan jika garasi tidak muat lagi. Namun kakek sudah menyerah karena sakit pinggangnya yang kumat.

"Ayo kek lagi." rengekku.

"Sebentar pinggang kakek sakit nduk."

"Kakek nggak asik ah."

Di tengah kesalku pada kakek, papa datang pulang dari kantor.

Tin!

"Papa!" teriakku sambil merentangkan tangan begitu melihat papa turun dari mobil.

"Sedang apa anak cantik?" Papa menggendongku tak lupa salim kepada kakekku seperti biasanya.

"Mela ingin belajal sepeda tapi balu sebental pinggang kakek udah cakit." aduku pada papa seraya menunjuk kakek. Saat itu usiaku sekitar 3 tahun.

Kakek terkekeh "Maklum udah tua."

"Sama papa aja belajarnya biar kakek istirahat ya." Aku bersorak papa menurunkanku dan mulai belajar sepeda.

Dipegang saat aku akan menaiki sepedanya, didorong hingga berjalan, sedikit demi sedikit dilepaskan, namun akan sigap saat aku akan terjatuh. Hal itu aku lakukan setiap sore hari sepulang papa dari kantor. Bahkan papa rela pulang lebih awal untuk mengajariku naik sepeda. Akhirnya aku bisa naik sepeda dan bermain dengan teman-teman yang lain.

Teringat juga saat papa mengenalkanku pada badminton, olahraga yang kutekuni hingga menjadi atletnya.

"Ini apa papa?" tanyaku seraya memperhatikan kok yang terjatuh di depanku.

Hari itu papa dan Bang Ical sedang melakukan permainan badminton. Sedang aku bermain gelembung-gelembung yang dimainkan Bang Alva. Dan kakek hanya duduk di teras seraya memperhatikan ditemani adiknya nenek yang paling kecil.

"Itu kok. Adek mau main badminton juga? Sini papa ajarin bermain."

Papa memberi contoh dan memperagakan saat-saat bermain kok yang kulihat bukan bola melainkan bulu ayam warna putih yang dibuat melingkar dibawahnya.

Saat Bang Ical mengumpan kok itu pada papa. Namun kok itu jatuh mengenai keningku. Tentu saja aku menangis meraung-raung sebab kesakitan.

"Huaaa!!" tangisku sambil teriak. Papa langsung sigap mengelus-elus bagian keningku yang terkena kok tadi.

"Huaaa!! Sakit papa!" masih dengan tangisan aku digendong papa. "Ssss... Nggak usah teriak nanti tenggorokannya sakit."

Mama dan Uni yang berada di dapur langsung berlari keluar saat mendengar tangisanku.

"Kenapa nangis?" Mama pun langsung mengambil alih aku ke dalam gendongannya. Namun aku, "Mau sama papa."

"Mana yang sakit coba mama lihat dulu." Mama menyerahkan aku kembali dengan papa.

"Kamu ambil salep di kotak obat sebelah televisi Vi sebelum nanti benjol." Uni menyuruh mama dan langsung mama lakukan.

Aku masih menangis meraung dan ditenangkan semua orang disana. Termasuk Bang Ical dia bahkan berkali-kali minta maaf tapi tak kumaafkan.

Saat mama akan mengolesi salep di lukaku aku meronta-ronta tidak ingin diolesi apapun itu. Sebab nyut-nyutan rasanya apalagi dipegang.

"Diem dulu ini mau mama kasih obat dulu biar sembuh nak."

Mama membujukku agar mau diolesi salep. Aku masih meronta-ronta di gendongan papa.

"Jangan dipaksa ma." ucap papa pada mama.

"Udah nggak jadi dikasih obat sama mama. Udah diem. Papa tiup aja biar langsung sembuh nanti."

Papa meniup keningku yang sakit. Ajaibnya setelah papa meniup aku kembali tenang dan berhenti menangis.

"Manjur langsung sembuh itu dek." ucap kakek dengan terkekeh diikuti yang lain. Benar saja, ucapan kakek membiusku aku langsung berhenti menangis melupakan rasa sakit sebelumnya.

Kalau ingat masa kecil tuh bawaannya pengen nutup muka. Antara mau nangis atau malu hehehe

Enjoy this story

Terimakasih, SEE YOU!!

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang