BAB 34 - Masa Lalu

76 6 0
                                    

Diberi waktu 2 minggu untuk persiapan tanding final nantinya menjadikan kami--aku dan Chandra--lebih giat lagi dilatih oleh coach. Coach sangat memberi acungan jempol untuk permainanku dengan Chandra. Meski sedikit problematik di pertengahan pertandingan namun bisa kupangkas tekanan lawan dengan bantuan Chandra tentunya. Thanks to Chandra, aku benar-benar bersyukur diberi kawan Chandra untuk bermain di sini. Selain dia senior dia bisa mengarahkan dan membantu permainan dengan apik tanpa membuat kawannya merasa kecil olehnya. Chandra sering mengajarkan apa yang aku tidak tahu, bukan hanya tentang permainan bulu tangkis, namun juga tentang jalannya kehidupan dan sifat berbeda-beda yang orang lain punya. Kami seperti kakak dan adik daripada kawan bermain. Setahun lebih ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Chandra. Bahkan kemarin sebelum kembali ke Jakarta kami sempat berbelanja di pasar tradisional yang ada di Jogjakarta. Kami juga sering bercerita apapun tentang kerandoman kami.

"Chan, gue mau cerita dong."

Sejak hari dimana aku mengungkapkan pikiranku mengenai Nando dan Yumi, aku sering curhat dengan Chandra, begitupun Chandra ikut-ikutan menceritakan masalahnya.

"Cerita apa?" Chandra duduk di sebelahku.

Aku menolehkan kepala melihat keadaan sekitar. Aman. Lapangan indoor kali ini tidak ada seorang pun dan aku berharap tidak ada yang menguping pembicaraanku.

"Gue sekarang nggak nyaman di kamar."

"Kenapa? Ada yang gangguin elo?" Aku menggeleng.

"Terus?"

"Di kamar cuma ada gue sama Inay doang."

Fyi, sejak hari dimana aku sakit dan ditinggal teman-temanku, aku jarang berinteraksi dengan Inay. Bukan aku kesal atau apa ya, namun Inay yang lebih menghindariku entah apa penyebabnya aku tidak tahu. Mungkin dia kesal karena malam itu dan besoknya Ela langsung menyerbunya dengan pertanyaan dan nyinyiran di depannya.

"Lo kalau kesal karena dijadikan cadangan jangan ke kami. Sana protes ke coach yang sudah milih. Emang coach milih tuh cap cip cup. Ya kali. Daripada elo numbuhin kesal tingkatin tuh latihan jangan tepe sana sini bisanya. Sama siapa tuh gengnya Arin. Nggak jelas banget idup lo, masuk ke bulu tangkis tapi mainnya sama anak voli. Nggak sekalian sana masuk ke voli."

Omongan Ela waktu itu sangat teringat di pikiranku. Aku yang hanya mendengar bukan menjadi sasaran Ela ikut overthinking apalagi Inay yang menjadi sasaran Ela. Belum lagi Nafi dan Manda yang juga pedas omongannya.

"Lo ada masalah apa gimana sama temen sendiri nggak nyaman."

"Bukan gitu Chan. Harusnya kan gue ya yang kesal di sini lah ini malah Inay yang kesal."

"Emang ada apa Nin? Cerita yang jelas lah."

Setelahnya aku menceritakan secara detail mengenai aku sakit waktu itu dan tentang Ela yang melabrak Inay di kamar.

"Bentar. Gue baru ingat Nin." Aku menunggu Chandra menyelesaikan ucapannya sembari dia berpikir. Hening terjadi diantara kami. Aku berdecak sudah tidak sabar menunggu Chandra berucap.

"Apaan Chan?"

"Loh lo nungguin Nin? Gue kira lo nggak peduli."

"Sialan Chandra." Aku menggeplak lengannya mengenai kepalanya yang langsung dilindungi olehnya.

"Iya iya bentar jangan kekerasan gini." Aku menghentikan seranganku.

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang