BAB 18 - Childish

96 5 0
                                    

Malam ini seluruh atlet timnas makan malam di salah satu restoran bintang lima di Jakarta. Acara ini biasanya dilakukan dua bulan sekali guna mempererat hubungan satu sama lain. Sebab anak atlet tinggal di asrama yang jauh dari keluarga. Untuk itu rasa kekeluargaan perlu ditingkatkan diantara seluruh atlet dan kru yang bertugas.

Malam ini artinya aku bertemu dengan Nando. Seperti kata Ela kemarin aku akan menemuinya menanyakan dia kenapa akhir-akhir ini tidak pernah lagi menghubungiku. Bukan kangen, tapi ada sedikit hal yang kosong karena sudah biasa setiap harinya melakukan komunikasi dengan Nando.

Keramaian mulai kudengar saat aku memasuki restoran dan mencari kursi atas namaku. Ya, jika ada acara seperti ini, setiap kursi akan dinamai sesuai jumlah atlet timnas agar tidak terjadi bentrokan yang mustahil terjadi namun tetap jaga-jaga saja.

Sebelum aku menemukan kursiku suara Rio terdengar menyeruak di indra pendengaranku.

"Nin, sini!" Kutengok kearahnya yang melambaikan tangan kearahku sembari tersenyum ceria.

"Kursimu ada disini, tuh." tunjuk Rio pada salah satu kursi yang ada didekatnya yang memang masih kosong.

Kuedarkan pandangan pada anak yang lainnya. Ada Rio, Nando, Dewa, Lala, Tami. Aku mengenal mereka semua syukurlah. Segera kulangkahkan kaki menuju ke kursi yang ditunjuk Rio, tepatnya di sebelah Nando.

"Hai Hanin." sapa Dewa dengan senyumnya yang memperlihatkan gigi gingsulnya. Manis.

Aku tersenyum menanggapi. Bagaimanapun rasa canggung masih bersemayam padaku. Sudah lama tidak bertemu sekali bertemu sudah malu duluan aku.

"Genit ae lu." Rio mengusapkan tangannya ke wajah Dewa.

"Biarlah."

"Pawangnya liat tuh. Entar kumat lagi."

Ucapan Rio membuat Dewa tersadar segera mengangkat dua jarinya dan tersenyum jenaka "Peace Ndo."

Aku menoleh kearah Nando sedang dia hanya melihat kedepan dengan tatapan kerasnya. Dia marah seperti yang dibilang Manda? Entahlah tapi dari tatapannya aku yakin dia sedang menahan amarah.

"Masih marah lo?" Rio bertanya seakan mewakili keherananku.

Tidak ada sahutan dari Nando dia malah memilih memainkan ponselnya.

"Marah kenapa?" tanyaku setelah tak ada jawaban darinya. Aku perlu mengkonfirmasi hal itu.

"Lo nggak tau Nin? Tanyalah anaknya."

"Hanin mana peka. Dia itu nggak tau apa-apa kalau lo nggak ngasih tau dia." Dewa tau sifatku yang satu itu.

"Kenal banget lo?" Akhirnya Nando membuka suara.

"Kan kan udah lu diem aja deh Wok. Daripada entar ngamuk lagi dia. Disini banyak orang kagak lucu kalau kalian berantem." Rio pun melerai mereka berdua.

Aku masih kepo dengan apa yang menyebabkan Nando marah. Dewa beberapa waktu lalu sempat menghubungiku menanyakan masalah yang terjadi antara aku dengan Nando.

Dewangga Aryana
Nin sori nih sebelumnya gue cuma nanya lo ada masalah apa sih Nin sama Nando? Kalau ada masalah cepat kelarin ya.

Pesan Dewa membuatku semakin kepikiran. Tadi saat makan malam Nando hanya diam tidak berbicara kepada siapapun. Ingin kuajak ngobrol tapi aku sungkan. Diantara kami masih ada orang lain yang memperhatikan.

Akhirnya disini aku sekarang bersamanya. Duduk berdua di warung kopi pinggir jalan. Tadi setelah makan malam selesai aku pamit kepada temanku dan mengajak Nando untuk keluar. Aku ingin bicara dengannya.

"Kamu kenapa? Tumben diam aja." pertanyaanku mengawali obrolan dengannya.

Dia pun hanya menggeleng. Sedang aku menghela nafas. Aku tidak bisa seperti ini, disuruh sabar setelah membuatku kepikiran.

"Aku tadi pamit keluar ingin ngobrol sama kamu tapi sekarang malah kamunya diem aja. Tau gitu tadi kita nggak usah keluar. Aku balik dulu."

Aku hendak berdiri namun tanganku dicekal olehnya.

"Kamu beneran nggak peka?"

Aku mengernyitkan dahi melihat kearahnya.

"Aku marah loh sama kamu bukannya dibujuk malah ditinggal pergi." lanjutnya dengan wajah memelas.

Boleh tidak aku mencubit pipinya, dia lucu kalau mode begini. Tapi keinginan itu kutahan, aku menghela nafas.

"Marah kenapa? Ngomong." Kucoba sedikit melembutkan nada bicaraku.

"Maaf yaa aku childish banget kelihatannya. Siapa aku, pacar bukan cuma teman atlet tapi sikapku melebihi batas itu."

"Aku nggak suka kamu akrab dan dekat dengan Rio, kamu follow ignya arhan, juga tadi ngobrol sama Dewa, mantan kamu itu."

Dia saat ini mode anak-anak sedang aku harus mode dewasa. Ya karena masalah sepele ini jangan sampai merambat pada hubungan kami yang baru dekat. Huh, jujur hal seperti ini yang tidak kusukai dari berhubungan dengan lawan jenis. Aku harus menjadi dewasa pada tempatnya. Berbeda denganku yang selalu dianggap anak kecil oleh orang tuaku.

"Maaf ya. Aku nggak maksud begitu."

"Iya. Tapi bentar dulu aku belum selesai ngomong. Dengerin dulu."

Oke dia ingin didengarkan jadi aku cukup diam. Itu saja.

"Waktu aku marah nggak chat kamu harusnya tuh kamu chat aku duluan. Aku nungguin chat kamu biar bisa reda amarahku tapi aku kecewa kamu nggak ada chat aku. Yang ada malah aku tahu ponselnya Dewa ada notifikasi pesanmu. Dewa bilang kamu orangnya cuek kalau nggak dikasih tau bodo amat. Dewa kok tau kamu banget kayaknya beda sama aku."

Aku mengangguk.

"Aku iri sama Dewa sama Rio. Mereka sudah kenal kamu lebih dulu. Bahkan sampai sekarang masih akrab saja."

"Childish banget kan aku."

Dia terkekeh miris menunduk entah melihat apa di bawah sana.

Setelahnya hening diantara kami. Sudah selesai dia mengeluarkan unek-uneknya? Berarti ini gantian aku yang berbicara?
Aku berdehem sebentar menarik atensinya dan membahasi tenggorokanku.

"Nando." panggilku lembut.

Dia mengangkat wajahnya. Tampan dia selalu tampan dengan wajah jawanya.

"Makasih ya udah mau ngomong mana perbuatanku yang kamu nggak suka. Maaf aku udah melakukan itu dan nggak sesuai dengan yang kamu mau. Kamu tau? Aku pernah pacaran dan putus sebab hal sepele seperti ini. Dia nggak ngomong seperti kamu sekarang. Malah dia meminta putus denganku. Makasih ya kamu masih mau memberiku kesempatan. Kalau ada apa-apa kamu bilang aja seperti kata Dewa, aku ini nggak akan pernah tau kalau nggak dikasih tau. Maaf ya?"

Aku memelaskan wajahku dan menggenggam tangannya berharap dia memberi maaf untukku.

Dia tersenyum dan mempererat genggaman tanganku. Apakah artinya dia sudah memaafkanku? Ah sepertinya iya setelah kudengar kata yang keluar dari mulutnya.

"Kamu ada urusan apa sama Dewa.... selain teman?"

Aku segera melepaskan genggaman tangannya mengalihkan pandangan ke arah lain. Nando mengernyitkan dahi ke arahku gelagatnya masih ingin tahu tentang Dewa namun ia lebih memilih diam daripada aku menjadi badmood. Kami saling diam satu sama lain duduk di tenda warung kopi. Hanya suara penjual dan pembeli yang berinteraksi juga kendaraan yang lalu lalang sebab tempatnya berada di pinggir jalan. Jakarta kalau malam sejuk juga.

Aku sedikit bingung untuk melanjutkan ke bab selanjutnya
Aku minta kalian buat komentar untuk lanjutnya gimana biar pikiranku jalan

Jangan lupa ketik bintangnya guys

Terimakasih, SEE YOU!!

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang