BAB 8 - Permintaan

143 16 0
                                    

































Setelah malam itu aku berhasil menyeret Bang Ical pulang ke rumah. Tentunya dibantu sepupuku yang lain. Sedikit memaksa karena Bang Ical memilih tidur di apartment daripada pulang karena jarak. Dia baru saja tiba di Jakarta malam itu dan langsung pergi nongkrong. Dan malamnya kupaksa menempuh jarak jauh lagi.

Kasian tapi kalau nggak gitu aku pulang sendirian. Seperti kata Mas Raka pulang bareng sepupu tapi mereka naik kendaraan sendiri-sendiri. Sedangkan aku menyetir mobil sendiri. Kalau sama abang kan nanti disupirin hahaha...



Nando, pemuda itu juga ikut kami pulang ke rumah atas ajakan Bang Ical. Saat itu ia tidak ada jadwal latihan dari klubnya. Sehingga ia bisa datang ke rumahku saat acara keluargaku, serta malam itu nongkrong hingga tengah malam lebih dengan sepupuku.

Tentu pulang pergi Semarang - Jakarta. Dia berencana untuk langsung pulang sebab tidak ada sanak saudara disini yang bisa ditumpangi untuk tidur sebentar.















Setelah melipat mukenah dan sajadah kukembalikan ke tempat semula. Membuka jendela dan pintu balkon untuk mendapat udara pagi. Pemanasan sebentar sebelum keluar turun membantu mama di dapur. Rutinitasku sebelum dan sesudah tidur harus melakukan work out sebentar agar otot menjadi lemas tidak kaku saat dibuat pergerakan.

Meskipun aku belum bisa memasak tapi sedikit-sedikit aku membantu mama menyiapkan sarapan. Kalau mama bangun kesiangan ya tinggal mengoles selai pada roti dan menyeduh susu atau kopi. Uni tidak lagi bertandang ke dapur mengingat usianya yang sudah renta.










"Kemarin bukannya nonton drakor kamu, Kak?" sapa mama begitu aku turun.

Kamarku memang tidak kedap suara jadi jeritan kekesalan atau tawa menderai selama dariku pasti terdengar keluar kamar. Tak heran jika Mama tau.

"Kok sekarang udah bangun aja. Biasanya bangun siang. Emang ada kelas? Atau latihan?"

"Kelas, Ma, cuma satu matkul."

"Yauda bantu Mama masak sayur sop, yuk. Uni kemarin minta dibikinin."

Aku mengangguk lantas membantu Mama membersihkan bahan makanan yang tadi sudah diambilnya dari dalam kulkas.



"Gimana sama Nando udah akrab?" pertanyaan Mama mengejutkanku.

Apakah tidak ada obrolan lain selain dia? Kenapa pengawalannya harus tentang dia.

"Enggak."

"Kenapa?" buru-buru Mama menoleh kearahku dan kubalas tatapannya.

Aku menggaruk kepala sebentar, "Ya kan dia bareng abang terus jadi lebih dekat sama abang."

"Oh jadi mau Nando bareng kamu terus." Mama menganggukkan kepala.






Ada jeda sebentar sepertinya Mama sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk diucapkan. Takut melukaiku mungkin.

"Maaf ya, Kak. Kesannya Mama sama Uni maksa kamu buat dekat dengan laki-laki. Meskipun kamu nggak mau."


Mama mengambil nafas sebentar, "Mama nggak mau kamu selalu dengar omongan tante-tantemu seperti acara keluarga kemarin. Kamu menjadi seperti abang kembarmu yang nggak mau lagi datang ke acara bulanan setelah kena omongan tantemu."

"Omongan itu nggak hanya melukai abangmu, tapi juga Mama dan Unimu yang mendengarkannya. Makanya Uni ingin sekali melihat cucunya membawa pasangan saat acara keluarga. Alih-alih yang didapat harapannya terkabul malah kecewa yang terlihat di wajahnya. Setiap acara bulanan hanya anak Mama yang nggak mau datang. Dan itu membuat Uni sedih."

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang