BAB 13 - Terciduk

143 8 0
                                    

Memasang sepatu adalah hak terakhir yang kulakukan untuk menuntaskan penampilanku hari ini. Aku berdiri di depan kaca sembari mengecek riasan dan penampilanku. Seperti biasa aku memakai sweater coklat kesayanganku dan kulot jeans. Kupadukan tas yang sama dengan warna sweaterku. Dan terakhir sepatu putih yang menetralkan outfit hari ini. Hendak keluar kamar aku merasa ragu atas penampilanku. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 9 lebih yang artinya sudah lebih waktu janjianku dengan seseorang. Kuhirup nafas sebelum membuka pintu dan keluar. Tarik - buang - tarik - buang.

Hari ini aku janjian dengan Nando untuk pergi mencari sesuatu yang pantas untuk dijadikan kado. Ketua PSSI sedang berulang tahun dan hari ini seluruh atlet olahraga yang tergabung di timnas mempersiapkan kejutan untuk beliau. Tentu dengan makan malam di salah satu restoran di Jakarta Selatan yang sudah dibooking. Rencana kami hari ini membeli kado dulu baru ke tempat anak-anak menyiapkan kejutan. Pulang sebentar untuk bersiap dan kembali lagi untuk memberi kejutan.

"Udah izin mama?"

Nando bertanya sebab di rumah tidak ada orang, lagi. Aku mengangguk menjawab Nando.

"Langsung berangkat aja. Tadi aku udah izin waktu sarapan." jawabku sambil memperbaiki letak dudukku di mobil Nando.

"Ma, aku mau keluar sama Nando. Sekalian malam nanti aku nggak ikut makan malam mau ada acara dengan anak atlet." Pamitku kepada mama.

Aku lihat mama terkejut. Papa dan Uni pun sama terkejutnya. Kenapa keluargaku? Ada hal aneh? Oh tentu. Sejak kapan aku berani izin keluar bersama laki-laki. Sepertinya ini pertama kali tak heran jika keluargaku terkejut mendengarnya.

"Pergi kemana?" tanya papa.

"Ke mall Jakarta. Mau nyari kado. Ketua PSSI sedang ulang tahun seluruh anak atlet merayakannya nanti malam."

Oh iya keluargaku sudah tahu aku masuk timnas. Sekalian abang-abangku yang berada jauh kemarin langsung ditelpon mama begitu ada kabar ini. Terutama Bang Ical langsung heboh dan mengirim paket sepatu olahraga dengan titel bren ternama meluncur di depan rumahku dua hari setelahnya.

"Boleh. Pergi jam berapa emang kak?"

"Tadi janjian jam 9." gantian aku menjawab mama.

"Pulangnya?"

"Nggak pulang juga gapapa kak." Kulihat mama tersenyum menggoda.

"Sorenya nanti pulang dulu berangkat lagi malamnya."

"Hust... Lebih baik pulang dulu nanti juga suruh Nando izin lagi sama papamu." Uni ikut menimpali. Aku pun mengangguk.

"Yauda hati-hati ya." ucap mama masih dengan senyumannya.

"Nggak kurang pagi kamu izinnya?" Nando menoleh kearahku dan kubalas tatapannya.

Hari ini kuakui dia ganteng dengan setelan kaos putih dan celana jeans khaki serta sandal hitam yang diapit jari kakinya. Rambutnya hanya diberi minyak tanpa ditata namun seperti itu saja sudah ganteng. Perfect.

"Keluargaku sibuk sejak pagi. Ada waktu untuk izin ya waktu sarapan atau pulang kerja nanti malah jatuhnya terlambat." jawabku dan Nando pun memaklumi.

"Oh iya nanti pulang dulu kan? Kamu disuruh izin papa nanti waktu mau berangkat. Gapapa?"

Nando tersenyum. Dia fokus menyetir sesekali menoleh kearahku.

"Gapapa lah ini aja aku termasuk belum izin beliau dong mau ngajak kamu pergi."

"Ck, kan udah tadi aku izinin."

"Maksudku kamu izin sendiri kalau kamu pergi. Beda. Itungannya aku belum izin keluargamu kalau mengajakmu pergi."

"Terserah."

Aku mengalihkan pandangan ke arah luar. Heran aku dengan laki-laki. Kan sama saja kalau anaknya sudah mengantongi izin tidak perlu lagi meminta izin.

Untuk umur 57 tahun apa yang pantas diberikan. Aku sebenarnya bingung ingin membeli apa sebagai kado. Jabatan menteri membuat beliau sudah bisa membeli apapun. Sehingga kado baginya tidak ada apa-apa. Tapi setidaknya kan terkenang atau sedikit bermanfaat. Selama ini aku memberi kado kepada keluarga atau temanku dengan menanyakan mereka butuh apa atau meminta mereka untuk memilih sendiri. Jadi mustahil kadonya terbuang sia-sia. Tidak mungkin kan aku menanyakan Pak Menteri dulu ingin kado apa.

"Aku bingung bang mau ngado apa."

Kami sudah berjalan menyusuri sebelah kiri mall. Niat tadi ingin melihat dulu apa yang bisa dijadikan kado. Namun ternyata tidak ada yang menarik.

"Bapak nggak butuh kado. Butuhnya itu duit." canda Nando.

"Yakali kita ngasih duit yang mana tidak ada apa-apanya sama kekayaannya selama ini di rumah bang."

"Hahaha iya." "Coba kesana deh siapa tahu ada yang menarik."

Nando menarik tanganku menuju bagian kanan.

Setelah 2 jam lamanya kita memutari mall. Akhirnya kita mendapatkan 2 paperbag yang berisi kado. Saat ini kita menuju tempat anak-anak menyiapkan kejutan. Kulihat ternyata persiapan belum dilakukan sama sekali. Masih ada beberapa yang baru datang.

"Hai. Kubantu ya." sapaku dan duduk bersama mereka yang sedang menyiapkan balon.

"Iya sini. Kenalin Ela."

" Hanin. Udah dari tadi?"

"Enggak baru aja kok."

"Eh tau nggak si. Anak sepak bola pada bawa gandengan tuh."

Grasa grusu orang yang baru datang. Setelah kulihat ternyata salah satunya Yumi. Kalian ingat Yumi? Ya yang waktu itu bertemu di kafe tempat mama dan ia akrab dengan mama. Dia baru sampai dengan temannya yang sekarang sedang nyerocos menceritakan sesuatu dengan heboh.

"Siapa? Kalau Wisnu nggak heran lagi dia kan selalu bawa bininya setiap ngumpul begini."

"Aku lihat tadi Kak Adi, Kak Wisnu, sama Kak Nando."

"Ha? Nando? Bawa pasangan?" aku sedikit menegang mendengarnya.

Apa tadi aku terlihat atau tidak oleh Yumi dan temannya. Dan apa tadi terkejut cuma karena Nando bawa pasangan. Apa perlu sebegitu kagetnya. Apa Nando tidak pernah membawa pasangan saat berkumpul.

"Iya kak."

"Siapa? Lu sempat lihat wajahnya."

Yumi menangkap Hanin sosok Hanin duduk bersama mereka.

"Eh Kak Mela!" sapanya kepadaku yang mana membuat aku menegang.

Bagaimana tidak semua orang yang duduk tadi mengarahkan pandangan ke arahku.

"Hanin? Hanin datang sama Nando?"

Ya ampun kenapa harus sebesar itu suaranya. Seperti jaraknya dengan yang diajak bicara ini beribu kilometer saja. Padahal yang diajak bicara orangnya di depan mukanya. Ruangan sebesar ini hanya ada segelintir orang tentu saja pasti semua yang ada di sini bisa mendengarnya. Belum sempat aku meredakan detak jantungku suara di belakangku dan sahutannya membuat aku rasanya ingin menghilang di tempat.

"Lo datang sama Hanin Ndo?"

"Iya. Kenapa?"

Aku menutup mata enggan untuk membuka dan melihat tatapan semua orang yang ada di ruangan ini. Tuhan tolong berikan aku pintu Doraemon saja. Dasar, sialan. Aku harus mengumpat kepada siapa sekarang?

"Cie cie cie...." Rio sialan. Hah, akhirnya aku mengumpat. Aku mendengar suara yang kukenal dan kutengok orangnya--Rio bersama Dewa--teman smp sekaligus mantanku. Aku melongo di tempat. Setelah sekian lama aku tidak bertemu Dewa sebab kesibukan masing-masing namun sekarang aku bertemu lagi dengannya dengan situasi yang berbeda. Bukan terpana. Justru aku melihat ekspresinya tidak jauh berbeda dengan Rio, tengil dan geli.

Ahaha belum-belum udah kebongkar aja nih

Sebenarnya rencana awalku pingin hubungan mereka tuh backstreet tapi kalau kupikir lagi backstreet lebih banyak partnya nanti sedang aku mau sedikit part tapi langsung ngena ceritanya

Jangan lupa tekan bintang dan tulis komentar kalian di kolom bawah yaa

Thankyou, SEE YOU!!

Aset NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang