DERMAGA TELUK BATANG

12 6 0
                                    

Kapal bergerak pelan. Kecepatannya berkurang drastis. Orang-orang bangun dari rebahnya. Beberapa mulai mengemaskan kembali barang-barang yang mereka bongkar untuk alas tidur. Selimut dilipat. Jaket dan sepatu kembali dikenakan. Segala tas dan barang bawaan lainnya dikumpulkan jadi satu supaya jangan ada salah satu dari barang-barang itu tertinggal atau tertukar.

Tak begitu jauh di depan sana, Dermaga Teluk Batang sudah menyambut kedatangan kapal. Orang-orang berdiri di tepi dermaga. Para penjemput. Supir taksi. Tukang ojek. Kuli bongkar muat barang. Semua sudah siap. Kapal sandar adalah rezeki bagi mereka. Untuk alasan apa pun, tak ada yang senang bekerja tengah malam begini di tepi dermaga. Tapi apa mau dikata. Kehidupan kadang tak memberi pilihan apa-apa.

Kapal sandar di tepi dermaga. Malam sampai di puncak. Hampir jam satu. Aktivitas dan hiruk-pikuk di tepi dermaga membuat suasana malam tak jauh beda dengan dermaga saat siang hari. Orang-orang tetap berteriak menawarkan taksi atau mobil carter. Pun dengan para tukang ojek. Tak ada yang berdiam diri sebab diam berarti melewatkan rezeki begitu saja.

"Bang... taksi Bang? Carter... carter? Murah jak, Bang e. Harge kawan mah... Yom Bang... berape orang? Yom... dengan mobil saye jak..." seseorang menarik-narik lengan Sajidin yang turun sendirian terlebih dahulu untuk memastikan Marwan sudah datang atau masih di dalam perjalanan.

"Sudah ada yang jemput, Bang." Sahut Sajidin sambil menarik paksa lengannya yang masih juga dipegang seseorang tadi.

Orang itu tak menyerah begitu saja, "Misal adak ade yang jemput, abang cari saye ye, Bang. Soal harge usah khawatir ak... adak mahal mah..." ucapnya lagi dengan logat Melayu Ketapang yang sangat kental.

Sajidin mengacungkan jempolnya. Hanya mengacungkan jempolnya. Tak lagi menjawab apa-apa. Tatapan matanya pun kini sudah menyisir tepian dermaga, mulai dari ujung utara sampai ujung selatan. Marwan sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Marwan tak terlihat di tepi dermaga. Pun demikian di warung-warung kopi yang masih buka. Sajidin sedikit kecewa.

Kapal mulai sepi. Orang-orang sudah berebut melompat turun sejak tadi. Sajidin menghampiri kawan-kawannya.

"Kita turun saja dulu. Mungkin tak lama lagi Marwan akan sampai. Kita tunggu saja sambil ngopi."

Semua setuju dengan usul sajidin barusan. Sajidin, Re, Khozin, Toro, dan Dono segera mengangkut tas-tas milik kawan-kawan perempuan. Warung kopi di ujung utara adalah tujuan lantaran di situ adalah tempat yang paling strategis untuk mendeteksi kedatangan Marwan.

Sejatinya perut Sajidin sudah begitu terasa melilit lapar minta diisi. Tapi untuk situasi seperti ini, selera makan Sajidin seperti hilang menguap tak berbekas. Mobil jemputan belum datang. Sementara itu, satu dua mobil carteran sudah meninggalkan dermaga dengan membawa penumpang yang rela membayar mahal untuk sekali perjalanan.


MALAM INISIASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang