AKHIRNYA MARWAN DATANG JUGA

20 7 1
                                    

"Din..." Re menghampiri Sajidin yang berdiri di pojok warung kopi. Tatapan matanya tak bisa pergi dari ruas jalan di depan sana, tempat segala kendaraan keluar-masuk dermaga, "sudah setengah jam kita di sini. Marwan belum datang juga. Bagaimana ini, Din?"

"Entahlah, Re..." Sajidin mengembuskan napas panjang dan berat, "Tadi di Batu Ampar, Marwan bilangnya sudah sampai Simpang Siduk. Harusnya sekarang dia juga sudah sampai dermaga."

Re menarik lengan Sajidin. Diajaknya duduk kawan baiknya itu, "Ngopi dulu. Barangkali bisa sedikit mengurangi beban pikiranmu. Sambil kita tunggu Marwan."

Sajidin tak membantah, "Thanks, Re."

Seorang pelayan tua, mungkin pemilik warung kopi, mengantarkan dua gelas kopi panas. Ini untuk yang kedua kalinya. Gelas pertama telah pun tandas sejak tadi. Dua gelas kopi ini untuk Re dan Sajidin. Khozin menolak saat Re menawarkan kopi gelas kedua.

"Pak... mau nanya dong..." Lisa menyentuh pelan lengan bapak tua pelayan warung kopi yang sedianya akan kembali ke dalam warung.

"Oh... boleh. Nak nanyak ape?" sahut si bapak tua dengan ramah. Ada senyum yang menyerta di wajahnya yang terlihat sedang menahan kantuk itu.

"Di sekitar sini apa ada penginapan, Pak?"

Bapak pelayan menunjuk ujung ruas jalan tempat keluar-masuk kendaraan ke dermaga, "Di sian ade mah penginapan. Tapi adak bagus ak kamarnye te. Pun mahal gik kate orang."

"Ooo..." Lisa mengangguk-anggukkan kepala. Tatapan matanya beradu dengan tatapan mata Gloria.

"Kalo carter mobil ke Kota Ketapang, kena berapa kalo lewat tengah malem gini, Pak?" kali ini Gloria yang nanya.

"Hmmm... biase bah ade yang mintak empat setengah. Dah murah dah tu. Kalok ade yang nakal bah, biase mintak enam sampai tujuh ratus. Ape agik itu mobil terakhir. Maok ndak maok lah orang tu bayar."

Gloria terbelalak kaget, "Astaga... mahal sekali."

"Wai... gian mah orang-orang te. Suke nak ngambik kesempatan."

Gloria menggaruk kepalanya yang memang beneran gatal, "Oke Pak, terima kasih atas informasinya."

Si bapak tua mengangguk lalu pergi.

Sepeninggal si bapak pelayan, Sajidin menyesap kopinya yang sudah tidak terlalu panas. Untuk kesekian kalinya, angka-angka rupiah berputar-putar di kepala Sajidin. Hitung-hitungan biaya kembali dilakukan secara diam-diam. Dinihari kali ini, pusing di kepala Sajidin sudah sampai ke puncak.

"Kita harus segera cari penginapan, Re. Kita semua capek. Kita harus segera tidur." Sajidin mengedarkan tatapannya. Toro dan Dono duduk tegak bersandarkan kayu pagar pembatas warung kopi. Mata keduanya sudah sangat sayu. Mardianita dan Via meletakkan kepala di atas meja beralaskan kedua lengan masing-masing. Ana dan Eka masih terjaga meski kelopak mata keduanya sudah sangat susah untuk dibuka.

Di hadapan Sajidin, Re duduk sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Khozin memilih duduk di lantai sambil menyelonjorkan kaki. Sementara itu, Lisa dan Gloria memilih untuk berjalan-jalan ke luar warung kopi.

"Kita tunggu setengah jam lagi. Kalau dalam waktu setengah jam Marwan gak datang, kita cari penginapan."

Sajidin mengangguk. Diletakkannya keningnya ke meja. Matanya terpejam rapat. Sekarang, yang ada di dalam kepalanya tinggal sekian kalimat yang dimulai dengan 'jangan-jangan' tentang Marwan. Jangan-jangan Marwan kehabisan bahan bakar. Atau... jangan-jangan mobil Marwan terbenam ke lubang dan Marwan tak bisa mencari bantuan untuk mengangkat mobilnya kembali. Atau... jangan-jangan Marwan mengalami kecelakaan. Atau... jangan-jangan Marwan...

MALAM INISIASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang