SEBUAH PENGAKUAN

3 2 1
                                    

Marwan dan Sajidin duduk di bawah pohon yang entah pohon apa namanya. Keduanya duduk tak jauh dari rumah dan truk yang terparkir di pelataran. Azan subuh telah selesai dikumandangkan sejak tadi. Di kejauhan, suara debur ombak terdengar sekali-sekali.

Sajidin menyalakan sebatang rokok. Tubuhnya penat bukan main. Tapi, selagi pertanyaan ini belum menemukan jawaban, rasanya Sajidin tak akan pernah bisa tertidur pulas meski seluruh tubuh terasa remuk redam dihajar letih yang tak terkatakan lagi rasanya.

"Siapa yang memberi tahu kepadamu soal detail isi rumah itu, Din?" Marwan membuka percakapan. Tatapannya terlempar lurus ke depan, ke arah pantai yang diselimuti gelap subuh hari.

"Itu gak penting, Wan..." Sajidin menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat, "sekarang yang paling penting adalah... coba kau jujur sama aku... rumah siapa yang kau siapkan untuk aku dan rombongan itu? Aku merasakan seperti ada yang tidak beres. Kamu seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Wan."

Marwan menghembuskan napas panjang, "Baiklah, Din. Aku akan menceritakan semuanya. Ini bukan sebuah pengakuan sebab kukira aku tak melakukan kesalahan apa-apa. Kau dengarkan baik-baik," Marwan membenarkan letak duduknya.

Di sebelah Marwan, Sajidin duduk di hamparan rumput dengan perasaan tegang. Bermacam prasangka buruk datang di dalam kepalanya. Sajidin tak berbicara sepatah kata pun. Dia siap mendengar cerita Marwan, bahkan jika cerita itu adalah cerita paling menakutkan sekalipun.

"Sebenarnya rumah itu adalah rumah Tok Dolah. Almarhum Tok Dolah tepatnya."

Sajidin tersentak kaget.

"Betul. Rumah yang saat ini kalian tempati itu adalah rumah dari orang yang meninggal bahkan belum genap sehari semalam."

"Gila kamu, Wan!"

"Aku gak punya pilihan lain, Din. Aku gak ada alternatif lain. Semua rumah di sepanjang garis pantai, mulai dari ujung selatan sampai ke ujung utara sudah berpenghuni. Kebanyakan malah sekalian untuk tempat usaha. Tak ada rumah kosong di sekitar sini."

Sajidin membanting puntung rokoknya kuat-kuat ke depan.

"Mulai dari telat jemput. Jemput pake truk. Di dalam bak truk ada keranda bekas mengangkut jenazah orang yang baru meninggal. Rumah tua yang terpencil, gak ada listrik, sepi, dan... dan yang punya rumah baru saja meninggal. Gila sih, ini Wan. Aku tinggal nunggu kejutan terakhir dari kamu saja nih. Sebuah kejutan yang berbentuk cerita tentang arwah orang yang baru meninggal itu ternyata belum pergi dari rumahnya dan rumah yang baru saja ditinggalkannya itu sudah diisi oleh sekelompok orang asing dan arwah itu marah dan arwah yang marah itu membunuh orang-orang asing yang mendiami rumahnya satu persatu sampai semuanya meninggal!"

"Din... jaga ucapanmu!"

Sajidin meremas rambutnya sendiri. Untuk beberapa jenak lamanya, keheningan berkuasa di antara Sajidin dan Marwan. Hanya suara debur ombak yang terdengar sekali-sekali di kejauhan yang menyusup di sela keheningan itu.

"Maaf, Wan... maafkan aku. Aku lepas kontrol. Aku gak bermaksud mengabaikan semua kebaikanmu sejauh ini. Gak... gak ada maksudku kayak gitu, Wan. Harusnya saat ini aku bilang makasih ke kamu, bukan malah kayak gini."

Marwan berdiri. Diulurkannya tangan ke Sajidin yang segera menyambutnya. Marwan dan Sajidin sama-sama mengibas-ngibaskan tangan ke celana bagian belakang. Pasir-pasir yang melekat di celana segera jatuh berguguran.

"Sudahlah. Aku tau kalau kamu saat ini sedang letih. Itulah sebab kamu tak bisa berpikir dengan jernih."

"Bener, Wan. Sekali lagi aku minta maaf."

Marwan menepuk pundak Sajidin, "Nanti akan kupesankan sarapan untuk kalian. Aku punya kenalan. Namanya Kak Endah. Dia owner-nya Cemal-Cemil Ketapang. Kak Endah biasa melayani pesanan kue dan nasi kotak. Nasi uduknya juara. Enak, banyak, dan murah. Biar kuminta Kak Endah untuk nganterin sekalian ke sini."

Sajidin tersenyum. Perkara sarapan sama sekali belum masuk ke pikirannya saat ini. Marwan sudah bergerak mendahuluinya. Demi apa pun itu, Marwan adalah kawan yang sangat baik, batin Sajidin.

"Thanks, Mamen. Kalo kamu gak mesenin sarapan, aku yakin anak-anak itu bakal kelaparan dan ujung-ujungnya kami semua akan sarapan sekaligus makan siang."

Sajidin dan Marwan saling toast.

"Sekarang kamu temenin aku. Tepatnya, bantuin aku."

"Siap. Bantuin apa?"

Marwan meringis, "Kita ke mushola. Bantu aku nurunin keranda."

"BANGSAT!"

Marwan tergelak-gelak di subuh yang hening.


MALAM INISIASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang