SISA MALAM YANG MENCEKAM

12 6 1
                                    

Khozin membuka mata lalu menguap panjang. Untuk kali ini Khozin merasa harus mengucapkan terima kasih pada Sajidin yang memintanya bertukar tempat. Meski cuma sebentar, Khozin bersyukur bisa tertidur pulas dengan posisi yang sedikit lebih nyaman. Meski dengan posisi duduk, setidaknya duduknya kali ini sangat empuk, hangat, dan tidak harus berhadap-hadapan dengan keranda yang masih menguarkan bau wangi kembang kuburan. Mengingat itu semua, Khozin bergidik ngeri.

"Kenapa? Kebelet kencing?"

Khozin menggeleng, "Gak. Pengen bergidik saja."

Marwan terkekeh.

"Jam berapa sekarang?"

"Sepertinya jam empat lewat. Bentar lagi kita nyampe."

Khozin melempar pandangan ke luar kabin. Di depan ada jembatan besar. Ketika tersorot lampu truk, sempat terbaca oleh Khozin nama jembatan itu; PAWAN I.

"Kita sudah masuk kota, ya?"

Marwan mengangguk, "Sudah dari tadi. Kita sudah nyebrang."

"Nyebrang?"

"Maksudku..." Marwan diam sejenak sambil berusaha mencari kosakata yang pas untuk menjelaskan kondisi ini, "begini... Jembatan itu tadi seperti memisahkan dua wilayah tempat tinggal. Orang-orang di sekitar sini kalau mau ke pusat kota bilangnya nyebrang, artinya mau ke seberang jembatan. Begitu kira-kira."

"Ooo..." Khozin mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali tanda paham. Setelah itu, tak ada lagi kedengaran percakapannya dengan Marwan.

Khozin mencoba untuk menikmati sisa perjalanannya kali ini yang kata Marwan bentar lagi nyampe. Di depan ada bundaran kecil. Lalu di sebelah kanan ada sekolah dasar negeri yang tak sempat terbaca seluruhnya oleh Khozin. Ada juga depot air minum di sebelah kiri jalan. Mata Khozin jelalatan mengamati suasana subuh di kota orang ini. Tak begitu lama, Khozin melihat ada tikungan tajam ke sebelah kiri, tapi Marwan tak membelokkan truk yang dia kendarai mengikuti lajur jalan utama. Marwan memilih lurus, masuk ke jalan kecil yang suasananya semakin sepi.

"Kalau kita ikut jalan besar tadi, kita akan lanjut ke daerah hulu. Pesaguhan, Kendawangan, Manis Mata, Padang Dua Belas, lewat situ semua." Marwan memberi penjelasan.

"Ini kita mau kemana?"

"Ke lokasi penginapan kalian. Di ujung Pantai Kinjil Pesisir."

"Pantai?"

"Iya. Sajidin mintanya di pinggir pantai. Warung istriku juga di pinggir pantai, tapi agak jauh dari lokasi kegiatan kalian."

"Wah... cakep kalau begini," Khozin terkekeh.

Laju truk mulai berkurang. Jalan yang dilewati truk semakin sempit dengan areal persawahan di kiri dan kanan jalan. Lampu-lampu di teras rumah terlihat berkelap-kelip di kejauhan. Suasana begitu sepi. Tak ada penerangan di pinggir jalan selain sorot lampu depan truk.

Di depan, Khozin melihat gapura kecil. Sepertinya itu gapura masuk ke area pantai. Ada tulisan di atas gapura tapi tulisan itu sama sekali tak terbaca oleh Khozin. Sorot lampu truk tak sampai ke atas meski beberapa kali Marwan mencoba menembak gapura dengan sorot lampu jauh.

"Kita sudah masuk area pantai," Marwan membelokkan truk ke kiri jalan.

Ada satu hal yang membuat Khozin takjub. Di sepanjang garis pantai rupanya banyak juga rumah-rumah penduduk. Hampir semuanya menghadap ke pantai. Lampu teras terlihat terang benderang. Dan... rumah-rumah di sini sungguh mewah dan bagus-bagus desain eksteriornya. Khozin berdecak tanpa sadar.

"Kebanyakan dari mereka mampu membangun rumah mewah dari hasil berjualan pecal dan sebagian dari mereka memelihara sapi. Orang sini kaya-kaya, Brader."

MALAM INISIASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang