1. Menonton Bersama

1.7K 174 29
                                    

Hari Minggu.

Adalah hari yang menjadi hari santainya banyak orang. Sekolah libur, kantor pun demikian. Membuat orang-orang banyak menghabiskan waktu mereka dengan berwisata bersama keluarga, atau hanya sekedar bersantai di rumah.

Tak jauh beda dengan remaja kelas 10 ini. Remaja bernama lengkap Halilintar Arkan Mahardika itu hanya ingin menghabiskan hari Minggunya dengan rebahan di rumah.

Niatnya sih memang ingin rebahan saja seharian, tapi niat itu segera batal karena ulah adik laknatnya yang telah tega menyiram Halilintar untuk membangunkan ia dari tidur nyenyaknya.

Belum lagi dengan ayah yang tiba-tiba menariknya ke garasi untuk membantu mencuci mobil. Tamatlah sudah keinginan Halilintar untuk rebahan seharian.

"Film apaan tuh?"

Baru saja Halilintar menginjakkan kakinya di ruang tengah rumah, ketika matanya tak sengaja menangkap kehadiran sang adik yang tengah menonton film di platform streaming langganan keluarga mereka.

"Munchausen," jawab si adik dengan pandangan yang tak lepas dari layar televisi.

Halilintar menaikkan satu alisnya. Sepertinya ia tahu film itu. Para cewek di kelasnya selama satu minggu kemarin sedang ramai membahas sebuah film bergenre drama keluarga yang baru saja dirilis.

Kata mereka sih, aktor yang memerankan tokoh protagonis utama di film itu tampan. Ditambah dengan alur yang menguras emosi, membuat film itu populer di kalangan remaja perempuan.

Kalau Halilintar tidak salah ingat, itulah judulnya.

Munchausen.

Setahunya, Munchausen dalam psikologi itu memiliki arti seseorang yang berpura-pura sakit atau sedih hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.

Hmm, sepertinya menarik. Apakah alur film drama ini akan sesuai dengan arti dari kata Munchausen itu sendiri?

"Pause dulu, dong. Gue mau mandi dulu."

Si adik berdecak, "ah elah, kak Hali mah. Ganggu aja, lagi nanggung tau ini!"

"Pause sebentar doang elah, gue mandi paling 15 menit kelar," jawab Hali yang langsung lari ke kamar mandi.

Dengan ogah-ogahan, Petir -sang adik- menekan tombol pause di remote. Dia membuka telepon genggamnya sembari menunggu Halilintar selesai dengan kegiatannya.

15 menit kemudian, Halilintar benar-benar sudah keluar dari kamar mandi. Lengkap dengan celana pendek berwarna cream dan kaos hitam berlogo petir merah kecil di dada sebelah kiri. Jangan lupakan handuk yang masih digunakannya untuk mengeringkan rambut.

Dengan rambut yang acak-acakan dan masih setengah basah itu, Halilintar menghampiri Petir lalu duduk di sofa sebelahnya. Kakinya ia lipat di atas sofa dengan handuk yang sudah diletakkan sembarangan. Tak peduli jika sang bunda akan mengomel nanti.

"Ulang lagi, Tir! Gue 'kan belum liat awalannya," perintah Hali sembari meraih setoples keripik di atas meja.

Petir memutar bola mata malas, "Tar Tir Tar Tir, nama gue tuh Petir, kak. P-E-T-I-R. PETIR! Enak banget lo nyingkat-nyingkat nama gue!"

"Ck, sama aja. Kan yang penting judulnya nama lo Petir. Dipanggil belakangnya doang jadi Tir. Udah buruan, jangan bacot mulu!"

Petir menghela napas. Kenapa ia bisa diberi seorang kakak yang ribet bin menyebalkan seperti Halilintar sih?

Petir jual juga nih kakaknya. Ada yang mau beli? Gratis kok, tinggal angkut aja.

Yahh, meskipun menyebalkan, tapi sebagai adik yang baik, Petir tetap melaksanakan perintah sang kakak. Ia kembali mengambil remote lalu memutar ulang film.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang