13. Take a Rest

1K 134 20
                                    

"Lan, gue capek, pengen pulang."

Tangan yang aktif bergerak mengusap surai cokelatnya tiba-tiba berhenti kala Halilintar mengucapkan hal itu. Kepalanya sedikit tertunduk menatap wajah Halilintar. Mata anak itu terpejam, seakan begitu menikmati elusan Alan pada rambutnya.

Memilih untuk tak membalas, Alan hanya tersenyum. Dia kembali menggerakkan tangannya untuk mengelus lembut rambut Halilintar.

"Kadang gue heran deh, kok lo bisa betah sih tinggal sama iblis kayak mereka?"

Helaan napas panjang keluar dari mulut Alan, "biar gimanapun, mereka tetap keluargaku, Hali."

Halilintar lantas beranjak dari posisi berbaringnya. Membuat elusan di kepalanya terpaksa berhenti karena Hali yang tak lagi meletakkan kepalanya di pangkuan Alan.

"Orang-orang jahat kayak mereka masih bisa lo sebut keluarga? Come on, Alan. Jadi orang tuh jangan terlalu baik!"

Alan hanya tersenyum. Bukan sekali ini dia mendapat perkataan seperti itu. Fang dulu juga sering mengatakan hal yang sama. Namun Alan tak terlalu mendengarkan dan selalu membalasnya dengan senyuman manis.

"Kalo aku membalas, berarti aku sama jahatnya, dong?"

Halilintar terdiam. Sedikitnya ia merasa malu. Alan memiliki mental yang kuat. Sehingga dia tak pernah mengeluh dalam menghadapi semua cobaan yang Tuhan beri. Sedangkan dirinya? Baru beberapa hari menjalani kehidupan Alan saja ia sudah ingin menyerah.

Terbuat dari apa sih sebenarnya hati Alan?

Halilintar mengalihkan pandang ke arah padang rumput di depannya. Tatapannya menerawang jauh, "gue masih bisa balik 'kan, Lan?" tanyanya kemudian. Dengan mata yang masih lurus menghadap depan.

"Mungkin?"

"Gue nggak tau apa yang bikin lo kepikiran buat nyerahin hidup ini ke gue. Bahkan sebelumnya gue nggak tau kalo kisah hidup lo di film itu beneran ada. Gue sebenernya nggak mau kayak gini, gue cuma mau hidup normal, tapi gue bisa apa?"

"Maaf."

Mendengar ucapan maaf itu Halilintar kembali mengarahkan fokusnya pada Alan yang kini tengah menunduk. Kedua tangannya saling bertautan, menggambarkan perasaan bersalah yang teramat sangat.

"Maaf kalo aku terlalu egois, Hali. Kamu tau? Aku juga sama lelahnya denganmu. Bahkan mungkin lebih lelah darimu. Saat aku mendapat kesempatan untuk melakukan ini, jadi kenapa tidak ku gunakan? Setidaknya aku bisa beristirahat sekarang."

"Tapi bukan dengan melimpahkan semuanya ke orang lain yang tidak tau apa-apa, Alan!"

"Aku tau, tapi aku ingin egois. Untuk kali ini saja."

Hali mendengus. Ia tak bisa menyalahkan Alan untuk itu. Sesekali, semua orang berhak egois. Apapun alasannya.

"Gimana dengan jiwa lo sekarang, Alan?"

"Entahlah, aku juga nggak tau. Sejak aku memutuskan untuk bertukar kehidupan denganmu, aku terjebak disini."

"Tempat apa ini?"

"Ini hanya alam bawah sadar diriku. Yang sekarang ditempati jiwamu."

Halilintar mengangguk paham, "apa lo nggak jenuh disini terus?"

"Aku lebih suka disini, seenggaknya, disini nggak berisik."

Sejenak, hening melanda. Halilintar kembali sibuk dengan pikirannya. Hingga suara Alan memecah keheningan mendadak tersebut.

"Lagipula ... masih ada hal penting yang harus kamu tahu dari hidupku."

Kening Halilintar berkerut mendengarnya. Apa maksudnya?

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang