Ceklek!
Seorang pria paruh baya memasuki ruangan berdominan merah. Menatap anak bungsunya yang sedang tertidur lelap dengan sendu. Dahi anak itu terlihat berkerut, membuat pria itu sedikit mengernyit.
'Apakah dia sedang bermimpi buruk?'
Tangannya terangkat mengelus singkat rambut sang anak. Rasa bersalah tiba-tiba saja menyelimuti hatinya. Dia tahu apa yang dilakukan anaknya di masa lalu berujung fatal bagi seseorang yang begitu ia cintai. Tapi biar bagaimanapun, saat itu si anak hanyalah seorang anak kecil yang tak mengerti apapun.
Pria itu menghela napas. Ingin rasanya ia memeluk putra bungsunya ini. Mengucapkan kata maaf berkali-kali hingga sang anak memaafkannya.
Namun ego serta gengsinya mengalahkan keinginan itu.
"Gengsi kok digedein."
Si pria mendelik. Melirik tajam seseorang yang berstatus sebagai adiknya.
Tristan —yang baru saja masuk— tertawa pelan. Berusaha untuk tidak membangunkan keponakan kecilnya. Sambil menatap wajah Amato dengan muka tengil, ia meletakkan tangan di bahu lebar sang kakak, "denger ya bapak Amato, kalo ngerasa bersalah tu ya minta maaf. Kalo mau meluk, ya meluk aja. Ngapain mentingin gengsi? Kek cewek aja lo!"
"Oh, atau jangan-jangan, love language lo itu mental attack ya kak?" lanjut sang adik. Entah bermaksud ledekkan atau sindiran.
Amato mendengus. Beginilah nasib jika memiliki seorang adik yang tidak ada akhlak.
Titelnya saja dokter, tapi kelakuannya —terutama ketika sedang bersama Amato— membuat si kakak selalu naik darah.
"Diamlah, Tristan."
Sang adik mendengus, "heleh, bilang aja lo malu sama Alan!" dengan tangan yang dilipat, Tristan memandang mengejek.
Amato tidak menjawab. Pengusaha itu masih sibuk memperhatikan wajah tenang nan polos anaknya. Tristan yang merasa tak dipedulikan pun ikut mengalihkan atensinya pada sang keponakan. Terdiam sesaat sebelum akhirnya bersuara.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, kak! Penting."
"Ngomong aja disini," titah Amato.
Tristan menggeleng, "nggak bisa. Kalo tiba-tiba anak lo kebangun terus denger semuanya bisa berabe ntar! Dah ah, gue tunggu di ruang kerja lo aja ya? Baii kakakku yang ganteng tapi gengsian!"
Usai mengatakan itu, Tristan melenggang pergi begitu saja. Membuat Amato menggeleng. Sebenarnya, sepenting apa hal yang ingin dibicarakan oleh anak itu sih?
Kembali melihat wajah putranya sebentar, lalu keluar dari kamar sang anak. Menyusul Tristan yang mungkin saja sudah menunggunya di ruang kerja.
••••••
Halilintar menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.
Sekarang dia tengah berada di sebuah tanah lapang berselimut rumput yang begitu cantik. Bunga-bunga kecil terlihat bermekaran disana. Dengan sebuah pohon besar menjulang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Langitnya bukan biru melainkan putih. Halilintar sendiri tak tahu tempat apa ini dan bagaimana bisa ia sampai kesini.
Hali tentu saja tidak peduli. Yang jelas, Halilintar menikmatinya.
Dia tersenyum senang sambil merentangkan tangan dan berlarian kesana kemari. Tak jarang Halilintar memperhatikan lebah-lebah kecil yang hinggap di tengah bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munchausen
FanfictionHalilintar tidak mengerti. Padahal ia hanya ingin menikmati hari Minggunya dengan menonton film drama yang baru saja rilis di platform streaming langganannya. Hanya karena tokoh protagonis utama yang memiliki nama sama dengan dirinya, membuat ia te...