Kelopak mata putih itu perlahan terbuka. Menampakkan iris merah gelap yang sudah lama tersembunyi di baliknya. Iris itu bergerak perlahan. Mengeksplor seluruh bagian ruangan asing tempat ia berada.
Alisnya mengernyit saat menyadari bahwa ia sama sekali tidak mengenali ruangan ini. Remaja itu berusaha keras mengingat kejadian sebelumnya yang mungkin saja membuatnya berada di tempat ini.
'Bukannya harusnya gue dah mati ya?'
Pulang dari rumah Kaizo, lalu mengalami insiden dengan sebuah mobil di tengah perempatan. Halilintar ingat itu. Dari kecelakaan yang separah itu, seharusnya Halilintar sudah pindah alam. Atau jika pun ia selamat, paling tidak dia akan terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa sakit. Terutama di bagian kepala dan punggung.
Tapi apa ini? Dia tidak merasakan sakit sama sekali. Hanya ... kaku?
"Tuan muda Alan, apa tuan mendengar saya?"
'Hah? Alan?'
Terlalu fokus dengan pikirannya, Halilintar sepertinya tidak menyadari kedatangan orang lain ke dalam ruangan itu. Seorang pria berseragam hitam telah berdiri tegak di sisi kanan ranjang. Raut senang bercampur khawatir tercetak di wajah si pria.
"S-siapa?" tanyanya lirih.
Si pria menaikkan alis. Oh tidak, apakah tuan mudanya ini mengalami amnesia?
Tak lama kemudian, seorang dokter memasuki ruangan. Membuat pria itu keluar dan membiarkan sang dokter memeriksa pasiennya. Bingung yang ia rasakan terpaksa harus dipendam terlebih dahulu. Mungkin dia akan menanyakannya kepada dokter nanti.
Halilintar sendiri masih memiliki tanda tanya besar. Ia tentu saja tidak mengenali orang-orang ini. Sebenarnya, ada dimana dia sekarang?
Dokter itu tersenyum selepas ia menyelesaikan pemeriksaan. Dia mengusap singkat kepala Hali lalu melangkah keluar.
Halilintar perlahan bangkit dari posisi berbaringnya. Ia menoleh ke arah samping. Tempat dimana sebuah wastafel dan cermin terletak. Melihat wajah yang terpantul di cermin, Halilintar tak bisa untuk tidak membulatkan matanya.
'MUKA SAHA INI WOE?! LUCU AMAT!!'
Tangannya terangkat. Meraba wajah yang serasa tak asing itu. Tidak, ini bukan tubuhnya.
Wajah Halilintar itu seharusnya tampan dan berahang tegas. Bukan berpipi chubby dengan mata bulat seperti ini! Memang sama-sama tampan sih, tapi kenapa harus terlihat menggemaskan?!
Siapa dia sebenarnya? Dimana ia sekarang? Kenapa jiwanya bisa berada di dalam tubuh ini?
Kepalanya terasa sakit. Tapi Halilintar tidak ingin terbunuh oleh rasa penasarannya. Dia lagi-lagi mencoba mengingat semua hal yang telah dilalui.
Menonton film, pergi ke rumah Kaizo, mengambil gitar, pulang, terlibat kecelakaan, dan berakhir di ruangan ini dengan seorang pria asing yang memanggilnya Alan.
Tunggu .... Alan?
Ceklek!
Matanya beralih pada pintu yang terbuka. Dua pria asing tadi kembali masuk. Si dokter tiba-tiba saja meletakkan tangannya di pundak Halilintar. "Saya ngerti, kamu pasti bingung."
'Emang bingung. Ini kenapa gue jadi ada disini si, anjir? Nggak terima gue!!' batinnya nelangsa.
Realitanya, Halilintar diam menyimak.
"Kenalin. Saya adalah adik dari papa kamu. Kamu bisa panggil saya pamanTristan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Munchausen
FanfictionHalilintar tidak mengerti. Padahal ia hanya ingin menikmati hari Minggunya dengan menonton film drama yang baru saja rilis di platform streaming langganannya. Hanya karena tokoh protagonis utama yang memiliki nama sama dengan dirinya, membuat ia te...