16. Buku Harian

823 128 17
                                    

Kata orang, hidup itu penuh kejutan. Namun menurut Halilintar hal itu hanyalah omong kosong, mengingat hidupnya selama ini yang datar-datar saja. Sampai pada akhirnya, perubahan besar menimpanya.

Banyak sekali kejutan dan orang-orang baru yang diperkenalkan takdir padanya. Baik di dunia nyata maupun alam bawah sadar.

Setelah beberapa hari sebelumnya dia dihadapkan dengan mimpi buruk mengenai Alan, kini yang ada di depannya adalah seorang wanita cantik. Memiliki rambut hitam panjang dan gaun putih yang begitu menawan. Nampak serasi dengan kulit seputih susu miliknya.

Wanita itu tersenyum begitu hangat. Manik mata merah darah yang sama persis seperti matanya sendiri menatap Halilintar penuh kerinduan. Hidung mancungnya terpahat sempurna di wajah, dan binar mata yang memancarkan kepolosan khas perempuan pasti mampu memikat hati lelaki manapun di dunia.

Siapa dia?

Halilintar tak pernah melihatnya. Wanita ini, adalah wanita yang berbeda dari orang bergender sama yang pernah ia lihat dalam mimpi kebakaran tempo hari. Halilintar tentu dapat mengetahuinya karena postur tubuh mereka tidak terlihat mirip.

Tangan berjemari lentik si wanita terulur, hendak menyentuh wajahnya. Melihat itu, Halilintar reflek mengambil langkah mundur, seakan tak ingin disentuh oleh sang wanita. Tindakannya barusan mampu melunturkan senyum yang sejak tadi terpatri di wajah cantik bak dewi tersebut.

"Jangan takut. Kemarilah, nak," ucapnya dengan pandangan yang berubah sendu.

Kalimat itu berhasil menghipnotis dirinya. Kakinya ia gerakkan untuk maju satu langkah. Membiarkan halusnya telapak tangan membelai lembut wajahnya.

Halilintar tahu ini mimpi, namun belaian yang didapatnya terasa begitu nyata.

Ada perasaan aneh yang menguasai dada. Rasa hangat bercampur sesak ia rasakan bersamaan. Halilintar tak mengerti dengan dirinya sendiri. Padahal ia yakin dirinya sama sekali tak mengenali siapa wanita ini. Namun entah mengapa, dia merasa begitu terikat dengannya.

"Kamu sudah besar, ya? Maaf, saya cukup menyesal telah melakukan itu dulu."

"Melakukan apa? Siapa kamu?"

Tanpa sadar, air mata perlahan membasahi iris ruby milik Halilintar. Lagi dan lagi, Halilintar tak mengerti kenapa ia menangis. Si wanita kembali mengembangkan senyum sembari mengusap bulir-bulir air mata yang jatuh di pipinya.

"Suatu saat nanti, kamu akan mengenal saya."

Suara indah nan lirih yang menjadi candu di telinga. Sentuhannya dilepas kemudian, seiring dengan tubuh menawannya yang perlahan menghilang. Meninggalkan seberkas cahaya dari ujung kaki hingga kepala. Membiarkan Halilintar sendirian di tengah ruang hampa alam bawah sadar.

••••••

"Kau jangan mengada, Kaizo! Hal seperti itu mustahil terjadi!"

Teriakan marah seorang pria memenuhi penjuru rumah. Usai Kaizo mengutarakan fakta yang lebih terlihat seperti sebuah kemustahilan, Thunder, selaku seorang ayah tentu saja tak terima ketika anaknya yang ia ketahui masih dalam keadaan koma di rumah sakit justru dijadikan bahan bualan oleh pemuda di depannya.

Kaizo menggeleng, kembali mencoba meyakinkan pria 57 tahun tersebut, "saya tidak membual, om. Jiwa Halilintar benar-benar terperangkap dalam tubuh anak bungsu keluarga Adhikara. Jika kalian berkenan, saya bisa membawa om dan tante bertemu dengannya," jelas Kaizo.

Thunder berdecak, dia mengacak rambut frustasi. Elena, sang istri, mengusap-usap punggung lebar milik suaminya. Berusaha membuat pria itu sedikit lebih rileks.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang