19. Pencarian

664 116 18
                                    

Hutan belantara di seberang danau menjadi fokus matanya saat ini. Hanya matanya, tapi tidak dengan pikirannya. Kakinya berdiri tegap di pinggir danau. Tiga hari telah berlalu semenjak pertemuan antara keluarga Mahardhika dan keluarga Adhikara. Selama itu juga lah Halilintar telah memulai misi pencariannya. Namun belum membuahkan hasil.

Lengannya ia lipat di depan dada, Halilintar mendengus frustasi. Rasanya sudah hampir seluruh tempat di kaki bukit ini ia telusuri. Hampir semua tempat ... kecuali hutan di seberang sana.Tapi seorang nenek atau sebuah gubuk pun belum ia temukan.

Hanya dua kata itu yang bisa Halilintar jadikan petunjuk. Untuk yang lebih detailnya, Halilintar tidak tahu. Setelah pertemuan itu, Kalandra tidak mau menemuinya. Dia menghilang, Halilintar sendiri bingung harus mencarinya kemana.

"Lo bilang, lo mau nyari nenek tua yang bantuin Alan buat transmigrasi jiwa, 'kan?"

Suara itu membuat Halilintar sedikir terlonjak. Dia menoleh ke kanan, dan mendapati Blaze tengah berdiri menghadap padanya.

Tangan pemuda kekar itu dimasukkan ke dalam saku celana. Setelah menghela napas, ia mengalihkan pandangannya ke arah danau. "Kayaknya ... gue bisa bantu lo."

Apa?

Kerutan heran langsung tercetak di dahi Halilintar. Apa Blaze kerasukan? Kenapa tiba-tiba dia mau membantu Halilintar?

"Gue bisa bantu lo temuin rumah nenek itu."

Halilintar tetap diam dengan tatapan menelisik. Membuat Blaze sontak gelagapan. "J-jangan salah paham!"

Blaze nampak kikuk. Matanya berputar ke sembarang arah, seperti orang yang tengah mencari-cari kalimat. "Gue cuma mau nebus kesalahan gue."

Oke, sedikitnya Halilintar paham. Meskipun ia tak tahu kesalahan mana yang Blaze maksud.

Dengan dagunya, Blaze menyuruh Halilintar mengikutinya. Awalnya Halilintar tak ingin langsung percaya, namun sorot mata Blaze seakan menandakan bahwa niatnya benar-benar murni ingin membantu Halilintar. Oleh sebab itu, dia membawa langkahnya mengikuti Blaze yang berjalan beberapa senti di depan.

Mungkin, tak ada salahnya untuk mempercayai Blaze sekarang.

••••••

"Waktu itu, gue ngeliat kak Taufan berantem sama Alan. Karena kak Taufan adalah orang yang mudah terprovokasi pas lagi emosi, jadi gue provokasi dia."

Kapur ditoreh pada batang pohon sebagai penanda jalan pulang. Blaze merajut langkah semakin jauh ke dalam hutan. Sedangkan Halilintar hanya diam seraya berjalan mengekori Blaze.

Lolongan anjing hutan beberapa kali terdengar. Namun rasa takut sama sekali tak terlihat pada wajah Blaze. "Di tengah pertengkaran, Ice datang. Dia nyuruh kita buat berhenti bertengkar. Alan yang keliatannya emosinya udah di ubun-ubun, pergi keluar rumah gitu aja," kaki Blaze menendang beberapa batuan kecil. Raut wajahnya tak begitu terlihat dari posisi Halilintar.
Namun dari suaranya, ada rasa penyesalan yang tersirat.

"Nggak lama setelah Alan keluar, Papa dateng. Dia kayaknya sempet ketemu sama Alan, dan nanya kenapa Alan keluar rumah dengan muka cemberut. Awalnya kita mau bohong, tapi papa pasti tau kalo kita bohong. Jadi Ice yang ngejelasin semuanya, tanpa kebohongan."

Rumput-rumput panjang terus ditebas dengan tangan. Batang demi batang pohon demi kembali dicoret dengan kapur, "setelah denger cerita dari Ice, papa nyuruh gue dan kak Taufan minta maaf."

Halilintar sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. "Terus? Lo udah minta maaf?"

"Sayangnya belum. Alan nggak pulang sampe malam. Nggak ada yang peduli dia ke mana. Dan besoknya, dia terlibat masalah sama Voltra."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang