4. Deeptalk bersama Paman Tristan

1.2K 162 17
                                    

Dua hari Halilintar ada di rumah 3 lantai itu dan dia sudah merasakan bosan setengah mati.

Ingin rasanya dia keluar dan berjalan-jalan. Namun sialnya pintu utama telah dijaga ketat oleh dua orang pengawal pribadi milik Amato. Dua orang berbadan kekar itu tidak membiarkan ia keluar tanpa izin dari sang atasan.

Menyebalkan sekali!

Selain itu, Halilintar juga belum mengenal daerah perumahan elit ini. Daripada ia kesasar nantinya 'kan? Lebih baik dia mengikuti arahan si pengawal dan tetap diam di rumah.

Tapi memang pada dasarnya Halilintar itu orangnya bosenan, jadi dia tidak tahan bila harus diam di kamar seharian. Ingin keluar kamar pun rasanya malas sekali. Malas untuk melihat wajah para setan itu tepatnya.

Eh, bukannya mereka sedang pergi bekerja atau sekolah ya? Berarti seharusnya mereka tidak ada di rumah dong?

Senyum Halilintar mengembang. Itu berarti dia sendirian disini!

Halilintar segera bangkit dari kasur dan berlari keluar kamar. Dia menaiki pegangan tangga lalu meluncur ke bawah. Sama sekali tidak peduli dengan teriakan panik pembantu dan para penjaga di lantai bawah.

Setelah mendarat dengan aman, Halilintar melihat sekeliling. Seperti yang dia duga, setan-setan itu tidak ada disini. Sudah jelas mereka sedang ada urusan semua.

Dengan santai Halilintar berjalan menuju pintu taman belakang. Sesampainya di ambang pintu, Halilintar menatap takjub pemandangan di depannya.

Ada satu kolam renang besar disana. Dan satu kolam lagi yang Halilintar sendiri tak tahu apa isinya. Tak jauh dari kolam renang, terdapat sebuah rumah kaca. Sepertinya berisi berbagai tumbuhan langka milik salah satu kakak Alan.

Penasaran dengan isi kolam tadi, Halilintar berjalan mendekat. Dia memasukkan tangannya ke air dan memainkan airnya.

Tanpa Halilintar sadari, sepasang mata telah memperhatikan gerak-geriknya dari dalam kolam. Mata Halilintar sontak membulat saat melihat seekor buaya berenang cepat seakan ingin menerkam.

Saking paniknya ia, yang bisa Halilintar lakukan hanyalah menutup mata. Oh, tidak. Apakah dia akan mati untuk kedua kalinya?

'Siapa tau aja abis ini gue bisa balik ke tubuh gue.'

Siapa sangka, tepat saat buaya itu hampir meraih tangan Halilintar, seseorang menariknya menjauh dari tepi kolam. Merasa tubuhnya ditarik secara tiba-tiba, Halilintar membuka mata. Melihat dua pengawal yang mengusir buaya itu pergi.

Halilintar tentu saja terkejut. Siapa yang menyelamatkannya?

Remaja 16 tahun itu menoleh ke belakang. Menemukan seseorang berkaos abu-abu polos dengan kacamata kotak berdiri menatapnya.

Pemuda yang jelas lebih tinggi darinya itu melipat tangan. "Lo mau mati? Sini sekalian gue lempar ke kolamnya Ocho!"

Oh, jadi nama buaya itu adalah Ocho.

Halilintar mengernyit. Orang yang berdiri itu adalah Solar. Evandra Solar Adhikara. Kakak keenam Alan. Remaja 17 tahun yang kini menginjak bangku kelas 2 SMA.

Di film, Solar diceritakan memiliki ketertarikan penuh terhadap sains. Dia sangat suka bereksperimen. Membuat berbagai macam penemuan dan ramuan-ramuan aneh. Dan biasanya, Alan lah yang akan menjadi bahan uji cobanya.

Jika ramuan itu gagal? Maka Alan juga lah yang menanggung efeknya.

Halilintar bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana Alan dijadikan kelinci percobaan oleh kakaknya sendiri.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?"

Sadar dari lamunannya, Halilintar kembali melihat wajah Solar yang kini tengah menaikkan satu alisnya. Tangan sang kakak terulur, menyuruhnya untuk berdiri.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang