6. Mulai Peduli

1.3K 154 20
                                    

Seorang lelaki berambut ungu gelap memandang sendu tubuh yang masih setia tertidur di balik kaca jendela ruang ICU. Kaizo menghela napas lelah. Kalau boleh ia mengaku, Kaizo rindu dengan suara bocah yang sering mendobrak masuk ke kamarnya di hari libur itu.

Kaizo masih ingat betapa paniknya ia saat mendapat kabar buruk dua hari yang lalu. Sahabat kecil yang selalu ia kasihi bagaikan adik sendiri mengalami kecelakaan hebat di jalan raya.

Setelah mendapat berita tak mengenakkan itu, Kaizo tancap gas menuju rumah sakit tempat Halilintar dilarikan. Sesampainya disana, ia hanya bertemu dengan seorang pria berjas rapi dengan mata obsidian yang terlihat berwibawa.

Tanpa canggung, Kaizo berbasa basi dengan pria itu. Betapa kagetnya Kaizo ketika mengetahui bahwa dia merupakan salah satu keturunan dari keluarga berpengaruh di kota besar ini. Keturunan kedua dari keluarga besar Adhikara.

Amato Adhikara.

Kaizo memang tidak pernah mengenal langsung keluarga konglomerat itu. Bahkan menghapal wajah setiap anggotanya saja tidak. Buat apa juga? Tapi tetap saja, bertemu dengan orang besar sepertinya membuat Kaizo membusungkan dada bangga.

"Apa yang anda lakukan disini, Tuan?"

Pria itu terlihat menghela napas lelah. Menengok sebentar ke pintu ruang UGD dan kembali menatap Kaizo, "saya baru saja menabrak seorang bocah."

Mendengar itu, alis Kaizo berkerut.

"Bocah?"

"Ya, dia yang ada di dalam ruangan ini. Kalau tidak salah, namanya siapa tadi? Gledek?"

Kaizo nahan ngakak. Untuk kesekian kalinya ada orang yang susah mengingat nama sang sahabat. Memang sejak sekolah dasar pun guru guru dan teman temannya sulit menghapal dan mengeja nama Halilintar. Hingga terbitlah sebutan Hali, Lin, atau Lilin untuk mempermudah.

Untungnya Hali sendiri tidak mempermasalahkan itu. Kecuali jika seperti orang yang di depan Kaizo sekarang ini.

Halilintar akan sangat kesal jika ada yang memanggilnya Gledek. Wong namanya bagus-bagus Halilintar kok jadi Gledek?

Siapa suruh punya nama susah amat?

"Mungkin maksud anda Halilintar?"

"Ah, iya dia. Apa kamu keluarganya?"

Kaizo lantas menggeleng, "saya temannya. Keluarganya masih dalam perjalanan."

Kalau gini caranya sih, Kaizo nggak jadi marah. Padahal di rumah tadi dia sudah berjanji akan memaki siapa saja yang sudah mencelakai sahabat kecilnya. Tapi ini yang nabraknya aja orang penting. Bisa-bisa Kaizo malah jadi mayat nanti.

"Saya minta maaf karena sudah membahayakan nyawa teman kamu, untuk biaya rumah sakit, saya yang akan menanggungnya," ucap Amato tulus.

Sang lawan bicara menganggukkan kepala tak enak. Kaizo pun heran dengan dirinya sendiri. Kenapa ia harus merasa tak enak? Bukankah hal seperti itu wajar dilakukan oleh pria kaya yang baru saja menabrak seseorang?

Namun di sisi lain, Kaizo cukup terkagum dengan Amato. Awalnya dia pikir, konglomerat seperti Adhikara sifatnya tidak akan jauh dari kata sombong dan arogan. Ia mengira Amato tak akan mau berbicara dengannya tadi. Dan lebih memilih untuk melimpahkan semuanya pada si asisten lalu pergi meninggalkan rumah sakit ini.

Tapi kenyataannya? Kepala keluarga Adhikara ini tidak begitu.

Singkatnya, kedua orang tua Halilintar bersama Petir pun tiba di rumah sakit. Raut panik, sedih, dan takut tercetak jelas di wajah mereka bertiga. Amato dan Kaizo segera bangkit dari posisi duduk. Pria Adhikara itu membicarakan semua yang terjadi pada keluarga Halilintar. Dan dengan kemurahan hati sang Bunda, mereka memaafkan apa yang telah diperbuat Amato.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang