11. Sekolah (2)

940 133 25
                                    

Pemandangan lapangan basket sekolah di balik jendela kelas saat ini menjadi fokus pandang Halilintar. Iris merah gelapnya memandang datar, dengan ribuan emosi yang tersembunyi di balik tatapan itu.

Helaan napas terdengar. Kelas masih cukup sepi mengingat hari ini dirinya berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Jujur, Halilintar benar-benar lelah dengan kehidupan ini. Hidup yang bukan miliknya dan seharusnya tak ia jalani sejak awal.

Atensi Halilintar teralih pada buku harian yang sedari tadi ia genggam. Dipandangnya dalam sampul hitam dengan tinta putih bertuliskan Kalandra Halilintar Adhikara itu. Ada rasa kagum ketika ia membaca nama keramat tersebut. Iya, Halilintar kagum dengan Alan. Anak itu bisa bertahan dengan semua masalahnya selama bertahun-tahun sendirian dan tanpa mengeluh. Sangat berbeda dengannya yang baru sepuluh hari disini tapi rasanya ia sudah ingin menyerah.

Amarah, kesedihan, kebahagiaan, kebencian, seluruh emosi yang ia miliki terasa benar-benar dipermainkan di kehidupan keduanya ini. Kadang Hali merasa bahagia bersama keluarganya, kadang juga Hali benci keluarganya, bahkan sering pula Hali merasa sedih dan kecewa dengan perlakuan keluarganya.

Seperti hari ini. Halilintar terpaksa mengawali paginya dengan pertengkaran, yang sejujurnya ia sendiri sudah malas dengan yang namanya bertengkar.

Tapi jika Halilintar tak melakukan perlawanan maka ia pasti akan terus ditindas. Begini ceritanya, tadi pagi, ketika Halilintar membuka pintu dan melangkah keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi, seseorang dengan cangkir berisi teh panas tiba-tiba saja menabraknya dari belakang. Membuat seragam yang sudah rapi dikenakan Hali menjadi kotor akibat tumpahan teh itu. Belum lagi dengan rasa panas yang menjalari punggungnya.

"Ups, maaf, sengaja."

Halilintar mendelik ke asal suara, dapat ia temukan Voltra berdiri beberapa senti di belakangnya. Halilintar sedikit terkejut dengan kehadiran Voltra saat ini. Apakah bocah itu menginap karena tidak diperbolehkan pulang setelah pertengkaran mereka kemarin sore?

Ia menatap Voltra tajam, namun yang ditatap justru balas memandangnya mengejek. Seragam yang dikenakan Voltra juga terlihat basah, namun tentu tak separah seragamnya.

Dirinya yang sedang malas menanggapi Voltra pun hanya acuh dan segera pergi meninggalkan bajingan itu. Namun setelah satu langkah diambil, suara yang paling tak ia harapkan kehadirannya terdengar. Sepersekian detik kemudian, kerah belakang seragamnya ditarik dengan begitu kuat. Yang tentunya membuat Halilintar merasa tercekik.

Segala makian, umpatan, dan cercaan Blaze ia telan mentah-mentah. Dia sudah tak peduli lagi dengan ocehan Blaze dan segala suara yang didengarnya, sedangkan dirinya saja sibuk melepaskan diri dari tarikan maut itu. Napasnya tercekat, Halilintar butuh oksigen sebanyak-banyaknya agar tak mati (lagi) di saat itu juga.

Sampai pada akhirnya, Solar muncul sebagai penengah. Blaze pun melepaskan tarikannya pada kerah Halilintar, yang membuat Hali lantas meraup oksigen dengan rakus.

Halilintar memutar badannya ke arah belakang, karena memang sedari tadi posisinya berdiri membelakangi Blaze dan Voltra. Dapat ia lihat, Voltra tengah sesenggukan di dalam pelukan Blaze. Oh, dia sudah tak heran lagi dengan akting yang anak itu lakukan. Namun justru pengakuan dari Blaze lah yang membuat dirinya ingin meneriakkan kejadian yang sesungguhnya.

Voltra ternyata memutar balikkan fakta. Dia justru berkata bahwa Halilintar lah yang menumpahkan teh panas itu pada seragamnya. Kesimpulan yang Blaze tarik dari penjelasan Voltra tadi adalah Halilintar yang berniat mencelakai Voltra dengan sengaja menumpahkan teh panas. Entah memang bodoh atau bagaimana, padahal jelas-jelas cangkir teh itu ada di genggaman Voltra. Seragam yang dikenakan Halilintar juga jauh lebih basah di bagian punggung dibanding dengan seragam Voltra yang hanya basah sedikit di bagian depan.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang