9. First Meet

1.1K 144 10
                                    

Pagi menjelang, matahari mulai menunjukkan sinarnya di ufuk timur. Pintu kamar bernuansa merah gelap tersebut dibuka perlahan oleh seseorang, lalu nampaklah seongggok tubuh manusia yang masih bersembunyi di balik selimutnya.

Gempa, yang menjadi pelaku pembukaan pintu tadi hanya menggeleng pelan. Adik bungsunya cukup brutal saat tidur ternyata. Ia mendecak pelan. Membuka tirai jendela terlebih dahulu lalu menepuk pelan tubuh sang adik.

Mendapat tepukan seperti itu membuat Halilintar langsung terbangun. Dia menyembulkan sedikit kepalanya sembari mengumpulkan kesadaran. Sesaat setelah kesadarannya telah terkumpul sepenuhnya, dia menjerit kaget saat melihat pria asing tengah bersedekap dada di samping kasurnya.

"LO SIAPA, ANJING?!

Ctak!

"Mulutmu."

Halilintar mengusap mulutnya yang baru saja disentil oleh si pria asing. Ini om-om asalnya dari mana sih? Dateng-dateng udah sokap!

Memilih untuk tidak peduli, Halilintar kembali membungkus dirinya dengan selimut. Yang mana hal itu membuat decakan sebal kembali terdengar dari mulut Gempa.

"Bangun, mandi. Atau mau kakak mandikan?"

Halilintar membuka selimutnya. Ia menatap horor si pria yang balik memandangnya. "Idih, ogah! Mending gue mandi sendiri, jauh-jauh lo sana!" kesal Hali sembari mendorong tubuh Gempa agar menjauh darinya.

Namun tenaga milik Halilintar tentu tak sebanding dengan tenaga Gempa. Pemuda 25 tahun itu dengan mudah menahan dorongan sekuat tenaga dari Halilintar. Menyadari ada sesuatu yang salah dari rona wajah sang adik, Gempa segera menempelkan punggung tangannya pada kening anak itu. Tapi langsung ditepis oleh sang empu, "nggak usah pegang-pegang! Bukan muhrim!"

"Kamu sakit. Tidak ada sekolah untuk hari ini," ucap Gempa seenaknya. Membuat Halilintar mendelik kesal. Enak banget ngatur-ngatur, kenal aja nggak!

"Nggak! Gue mau sekolah!" kekeuh Hali. Dia pun beranjak dari kasur dan berniat kabur ke kamar mandi. Namun tangan besar milik Gempa lebih dulu menahanya. Tanpa aba-aba, tubuh kecil yang lebih muda terangkat begitu saja.

"TURUNIN!!" Hali berontak. Kakinya sibuk menendang-nendang udara, berharap orang asing ini akan menurunkannya. Namun akhirnya usahanya tetap sia-sia.

Gempa membawa tubuh adiknya ke kamar mandi dan mendudukkan anak itu di meja wastafel. Halilintar tak lagi memberontak. Ia lelah ngomong-ngomong. Remaja tanggung itu sibuk memperhatikan gerak-gerik pria asing di hadapannya. Serius deh, ni orang tu siapa sih?!

Halilintar terus memerhatikan Gempa dengan binar penasaran yang begitu tinggi. Entah mengapa otaknya tiba-tiba bisa nge-blank begini. Gempa yang ditatap sedari tadi pun akhirnya sadar. Setelah mengambil sikat dan pasta gigi, pandangannya kembali terpusat pada wajah lugu sang adik. Pancaran keingintahuan yang tinggi itu membuat Gempa terkekeh. Ah, Gempa rindu sekali dengan raut polos adiknya ini!

Tangan besar Gempa dengan perlahan meraih rahang Halilintar. Dititahnya anak itu untuk membuka mulut. Halilintar hanya menurut. Secara hati-hati, Gempa menyikat keseluruhan gigi Halilintar. Setelah dirasa cukup, pria mapan itu membasuh wajah Halilintar lembut dengan air bersih.

Kembali diangkatnya tubuh kecil Halilintar. Jujur deh, di lubuk hati terdalam Hali, dia merasakan malu yang teramat sangat. Mana ada juara taekwondo yang digendong seperti ini?! Jika saja Petir ada disini, Halilintar yakin 1000 persen dia akan mendapat ledekan dari adik laknatnya itu.

Namun di saat yang bersamaan, Hali merasa nyaman berada di gendongan si pria. Yang membuatnya justru menyandarkan kepalanya nyaman di dada pria itu. Hanya diam sembari memainkan kancing kemeja milik Gempa. Gempa menaikkan satu alisnya heran. Tadi anak ini begitu keras menolak saat digendong. Tapi sekarang?

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang