10. Hari Sial

1K 135 14
                                    

"Om Arslan, aku sembuh dong!"

Halilintar berlari keluar dari lift. Senyum sumringah menghiasi wajahnya. Perutnya sudah terasa jauh lebih baik dari tadi pagi. Masih sedikit sakit sih, namun tidak akan menghambat aktivitasnya lagi.

"Kak Alan jangan teriak-teriak!"

Senyum sumringah itu lenyap seketika, saat dia melihat orang yang ia paling benci sedunia ada di 'rumahnya'. Tengah bermanja ria dengan kakak kedua Alan, Taufan.

"Peduli amat," gumam Hali sinis. Namun masih bisa didengar oleh Taufan.

"Jaga mulut lo, anak sialan!"

"Kalo gue anak sialan, berarti lo juga dong? Kita 'kan satu emak?"

Ucapan seenak jidat Hali rupanya mampu memancing emosi Taufan. "LO-" Taufan ingin sekali melayangkan tamparan pada wajah Halilintar, tapi tangannya terhenti di udara ketika mendengar tangisan pelan Voltra.

'Cih, drama,' batin Halilintar seraya memutar bola mata malas. Lebih baik ia mencari Arslan daripada menyaksikan drama murahan yang dimainkan oleh bocah brengsek bernama Voltra itu.

Halilintar memulai pencariannya di halaman belakang. Bertemulah ia dengan dua pengawal Adhikara yang lain disana. "Om Edgar, om Arslan mana?" tanyanya setelah membaca bordiran nama Edgar Emilio di atas saku seragam salah satu pengawal.

"Arslan sedang menemani Tuan Gempa keluar, Tuan Muda."

Hali mengernyitkan alis, "kan kak Gempa udah besar, kenapa masih harus ditemenin?" tanyanya polos.

Edgar tak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin 'kan ia bilang bahwa Arslan sedang menemani Gempa yang ingin memberikan 'pelajaran' pada Blaze? Jika dia keceplosan nanti bisa-bisa nyawanya yang hilang.

Sebelum Edgar memberi jawaban yang masuk akal, Hali sudah mengangkat bahunya. "Yaudah deh om, kalo om Arslannya ngga ada aku mau sendiri aja. By the way, om jangan panggil aku Tuan Muda, panggil Hali aja, okay?"

"Baik, Tuan Muda."

"Terserah om, deh."

Remaja itu pergi meninggalkan Edgar dan temannya dengan wajah masam. Sementara Edgar sendiri menahan tawanya saat melihat bibir semerah ceri itu berubah datar.

Halilintar akhirnya memilih untuk duduk di pinggir kolam sembari menunggu kepulangan Arslan. Ia mengeluarkan iPhone putih milik Alan yang memang sedari tadi dia bawa dan ia simpan di saku. Kembali melanjutkan keinginannya untuk menjadi stalker dadakan.

Tangannya bergerak lincah mengutak-atik handphone mahal tersebut. Jangan salah, walaupun Hali ini dulunya user android sejati tapi ia juga jago kalau disuruh pakai iPhone. Sepertinya ia patut berterima kasih pada Kaizo yang sering membiarkan Hali membajak handphone berkamera boba miliknya.

Akun dengan username @Blazeshaka_ menjadi sasaran pertamanya. Dibukalah akun yang memiliki lebih dari 5000 followers itu. Blaze cukup eksis di dunia maya ternyata. Dengan profesinya sebagai seorang atlet dan wajahnya yang rupawan membuat Blaze banyak digandrungi remaja-remaja perempuan.

"Cih, ganteng sih ganteng, tapi kalo kasar gitu apa gunanya ganteng?" julid Halilintar.

Hanya sebentar dia mampir disana, lalu kembali membuka akun yang lain. Username @adhkrice menarik perhatiannya. Namun ternyata isinya tak semenarik namanya. Feeds-nya hanya berisi postingan foto-foto formal dengan caption sepanjang konsonan langit. Sangat mirip dengan feeds akun-akun pemerintahan Konoha.

"Membosankan!"

Berlanjut lagi pada akun ketiga, yang memiliki username @Gempa.Adhikara. Halilintar sudah bisa menebak kalau akun ini milik kakak sulung Alan. Nathaniel Gempa Adhikara, pemuda yang sekarang menginjak usia 25 tahun. Baru kembali dari Australia setelah menyelesaikan masalah yang melanda cabang perusahaannya disana. Halilintar juga baru tahu jika Gempa ternyata baik pada Alan. Karena di film, sosok Gempa sama sekali tidak muncul. Hanya sesekali disebut oleh mulut karakter lain. Yang membuat Halilintar mengira bahwa Gempa sama jahatnya.

Munchausen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang