Voltra menatap kepergian Halilintar dan Kaizo dengan mata obsidiannya yang tajam. Dia melepas topi sekaligus kacamata hitamnya, kemudian keluar dari tempat persembunyian. Berjalan perlahan menghampiri pintu ruangan yang ia dengar-dengar menyimpan tubuh asli milik seseorang bernama Halilintar.
Dibacanya dalam hati nama yang tertera di depan pintu. Setelah memastikan tak ada orang yang mengenalinya di sekitar sini, Voltra pun melangkah memasuki ruangan.
Ruangan VIP itu memiliki fasilitas yang cukup mewah. Sangat berbeda dengan ruangan-ruangan di kelas 1 sampai 3. Voltra reflek memiringkan kepala saat melihat tubuh seorang remaja yang terbaring lemas di ranjang pesakitan.
Kakinya mendekati tubuh remaja itu. Dipandangnya lamat-lamat wajah sang remaja yang terpejam damai. Seulas senyum kecil terbit di bibir Voltra. Tangannya mengelus lembut rambut si remaja yang nampaknya sudah memanjang hingga hampir sebahu.
Suara monitor EKG terdengar semakin nyaring di telinga Voltra. Tawa kecil dikeluarkan, bersamaan dengan tangan Voltra yang tak menghentikan usapan.
"Namamu Halilintar? Halilintar Arkan Mahardika?"
Voltra tersenyum miring.
"Khe! Wajah kalian memang serupa."
Manik kelam milik Voltra bergulir ke arah kantung cairan infus yang tergantung di sebelah kirinya. Jari-jemari yang tadinya bertengger di rambut Halilintar kini beralih menggenggam selang infus. Pandangannya semakin dalam, "transmigrasi jiwa, ya?"
"Ku kira, hal semacam itu hanya khayalan," Voltra kembali memandangi wajah Halilintar. Ia mengelus-elus pipi tirus remaja itu. "Maaf harus mengatakan ini, Halilintar. Sayangnya, aku tidak menyukai Alan. Dan kupikir, kau jauh lebih baik darinya. Jadi, bagaimana jika ..."
Voltra melirik ventilator yang menutupi mulut dan hidung Halilintar. Perlahan, dia mencoba melepas ventilator tersebut. Senyum licik terbit setelahnya, "... kau saja yang menggantikannya?"
Anak angkat Adhikara itu tak tahu cedera apa saja yang dialami oleh remaja di hadapannya hingga berakhir koma seperti ini. "Kalau aku membunuhmu, maka jiwa kalian pasti akan tertukar permanen. Benar bukan?"
Untuk kedua kalinya, Voltra tersenyum miring, "selamat tinggal, Kalandra."
Sebelum ventilator itu benar-benar terlepas, pintu ruangan yang terbuka membuat bahu Voltra sedikit menegang. Rencananya hampir berhasil jika saja orang ini tak masuk secara tiba-tiba. Voltra berdecak dalam hati. Buru-buru ia melepas genggamannya dari ventilator.
Remaja bernetra hitam itu tetap di tempatnya. Tenang, tak bergerak. Menoleh pun tidak. Berbeda dengan orang yang baru saja muncul di belakangnya. Dengan tangan terkepal erat, orang itu mulai mencecar Voltra dengan pertanyaan.
"Woy! Siapa lo, hah?! Ngapain lo di kamar kak Hali? Mau macem-macem 'kan lo?! Ngaku!"
Ah, sial. Dia ketahuan, ya?
••••••
Ruang tamu rumah Kaizo merupakan spot favorit Halilintar. Dulu, sebelum keadaan menjadi kacau seperti saat ini, dia sangat sering berkunjung ke rumah Kaizo. Di ruang tamu inilah ibu Kaizo selalu mengajaknya mengobrol. Bercerita ini itu sambil sesekali meneriaki Kaizo untuk membuatkan minuman atau membeli cemilan. Keberadaan beberapa tanaman hias dan interior ruangan menambah kesan minimalis. Nyaman, Halilintar suka.
Sekarang, ruangan ini sepertinya lebih sering kosong. Ibu Kaizo memang selalu pulang larut malam, bahkan tak pulang. Itu juga yang menyebabkan Kaizo kerap kali kesepian. Berdasarkan cerita Kaizo saat di mobil tadi, Halilintar tahu jika ibu Kaizo sudah tak pulang selama lima hari ini. Ada urusan katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munchausen
FanfictionHalilintar tidak mengerti. Padahal ia hanya ingin menikmati hari Minggunya dengan menonton film drama yang baru saja rilis di platform streaming langganannya. Hanya karena tokoh protagonis utama yang memiliki nama sama dengan dirinya, membuat ia te...