19. Kita Akan Bicara Nanti

39 6 0
                                    

“Kita akan bicara nanti, tentang cerita yang terlupa dan juga perasaan yang terluka,, nanti.

Naraya Alvareta Oktavia

-oOo-

Satu minggu berlalu, kini Raya kembali pulang ke rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu minggu berlalu, kini Raya kembali pulang ke rumahnya. Setelah meyakinkan dan merayu tantenya berkali-kali akhirnya Raya diperbolehkan untuk kembali pulang ke Jakarta, dengan catatan diantar oleh supir pribadi om dan tantenya itu sampai rumahnya. Tante Selin tidak bisa mengantarkannya pulang karena akhir-akhir ini ternyata masih banyak giat Persit yang wajib dia ikuti.

Dan di sinilah Raya sekarang, di supermarket serba ada yang berjarak sekitar satu kilometer dari komplek perumahannya. Gadis itu memang tidak langsung pulang ke rumah, rencananya dia akan buat kejutan kecil-kecilan untuk Angkasa, pasalnya pria itu belum tahu kalau dia sudah pulang ke Jakarta. Dia tak sampai hati melihat pria itu bolak-balik Jakarta—Malang hanya untuk menjemputnya, jadi sekali lagi dengan bermodalkan nekat dan yakin jika fisiknya kuat, Raya pulang ke Jakarta tanpa ditemani pria itu. Wah, bahkan dia bisa membayangkan raut wajah kesal dari prianya itu nanti, sebab dari jauh-jauh hari Angkasa telah berpesan untuk menunggunya di Malang.

Raya meneliti kembali troli belanjanya yang sudah terisi setengah, mengingat-ingat apa saja kiranya bahan dapur yang sudah habis di rumahnya. “Sayuran sudah, bumbu dapur sudah, garam dan gula juga sudah, tep—oh iya tepung terigu belum masuk troli.” ucap gadis itu, kemudian mendorong troli belanjanya ke bagian rak yang menyediakan berbagai jenis tepung dan susu. Tapi sangat disayangkan sekali, rupanya tinggi badannya tidak sampai untuk meraih kotak tepung terigu yang terletak di rak paling atas, mana di lorong ini tidak ada pegawai yang bertugas lagi.

Di tengah kebingungannya, gadis itu melihat sebuah bangku kayu yang lumayan tinggi di dekat rak paling pojok. Raya menarik bangku kayu itu, mendekatkannya persis di depan rak tepung terigu yang akan ia ambil, tapi saat baru saja hendak menaikkan sebelah kakinya, sudah ada tangan lain yang mengambil kotak tepung terigu yang hanya sisa sebiji itu. “Eh, maaf tapi itu pun—dokter Satria?”

“Bukan hal yang bagus kalau kamu nekat naik ke atas bangku kayu ini, Naraya, ini tepungnya.” ucap pria dengan tinggi menjulang itu sambil menyerahkan kotak tepung terigu kepada Raya.

“Hehe, terimakasih Sat—dokter Satria.” ucapnya buru-buru membenarkan panggilannya.

“Tidak apa, kamu bisa panggil saya Satria saja, tidak perlu dengan embel-embel dokter, ini diluar jam kerja.” ucap pria itu tersenyum ramah kemudian mengambil satu kotak susu sapi bubuk yang terletak di susunan paling belakang rak. “Dulu seseorang pernah bilang ke saya untuk mengambil barang belanjaan dari urutan paling belakang, biasanya itu barang baru dan masa expired nya lebih lama. Jadi saya terbiasa mengambil barang dengan urutan susunan paling belakang kalau berbelanja.” Raya tertegun sesaat ketika mendengarnya.

Angkasa RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang