Bab 14

7.4K 373 9
                                    

Tolong Maafkan Ayah 14

Tempat syuting itu ternyata ada di daerah pedesaan. Satu jam berkendara, aku sampai di lokasi yang ditag Anatasya di akun instagramnya.

Ratusan hektar sawah menghampar dari awal perjalanan masuk ke desa ini. Ah. Jalannya seperti tidak asing bagiku. Aku memutar ingatanku. Memaksa mengingat tempat ini.

Yah. Aku ingat. Ini kampungnya Anaya. Perkembangannya luar biasa. Jalan aspal licin mulus tanpa hambatan.

Padahal dulu, lubang di jalan sana sini, makanya kalau Anaya panggil pulang kampung, aku tidak pernah mau. Sakit pinggangku karena jalan yang tidak rata mengguncang mobil. Lagi pula, ini mobil mewah. Nanti rusak lagi.

Sawah berderet rapi di kedua sisi jalan. Pagar bambu yang kokoh melindungi sisi jalan tersebut. Dicat warna merah putih. Sederhana, rapi, dan tertata.  Mobil dan motor lalu lalang. Boleh juga nih kampung.

Sekitar dua kilo meter hamparan sawah, sebelum masuk pemukiman, aku disambut gerbang bambu tinggi menjulang berbentuk pintu candi.

Desainnya tidak main-main ini. Pasti mereka membangun pakai tenaga arsitek. Rapi dan berkelas.

Lorong pertama, ada banyak mobil yang terpakir rapi, di sebelah kiri. Berderet-deret sampai ujung. Pajero sport milik Anatasya pun ada di tempat parkiran itu.

Di sebelah kanan, motor pun berderet rapi. Jika semua mobil di parkir di sini, berarti untuk masuk ke dalam, harus jalan kaki. Ah. Ribet. Aku memarkirkan mobilku paling ujung. Lalu, turun jalan kaki.

Mungkin karena ada syuting, kampung ini sangat ramai. Para penjaja makanan ringan dan minuman dingin berderet rapi di pinggiran jalan. Ada beberapa rumah yang dipakai syuting. Kamera ada di sana sini. Mungkin itu wartawan.

Stan-stan rapi berderet. Di depannya, banyak anak-anak muda dengan kamera dan ponsel. Mereka sibuk memotret dan merekam video. Suara riuh rendah terdengar.

Dengan keadaan seramai ini, mau cari di mana anak itu? Aku mengedarkan pandangan dengan teliti. Mataku melihat sekumpulan wartawan sedang mewawancarai anak perempuanku.

Rasa bangga menyusup dalam hati. Seandainya Melisa juga terkenal seperti Anatasya, mungkin, rasa bahagiaku akan lebih dari ini.

Aku tunggu sampai mereka selesai. Lama juga. Duduk di bangku panjang yang mungkin sengaja disiapkan untuk para pengunjung, sambil menatap wajah Anatasya dari jauh.

Iseng, aku mengeluarkan ponsel, lalu mengarahkannya ke sana. Zoom. Saat Anatasya tersenyum, klik. Foto tersimpan di galeri. Melisa pasti senang.

Aplikasi gagang telepon warna hijau aku buka. Melisa online.

( Papa lagi nunggu Anatasya selesai wawancara. Setelah itu, Papa bawa dia ketemu kamu )

Sertakan foto. Send. Lima detik. Centang dua warna biru.

( Beneran Pa? Duuh. Makasih banyak Pa. Papa the best deh )

Aku tersenyum. Apapun tentang Melisa, aku sangat bahagia. Ponsel aku kembalikan dalam saku celana.

"Nak Surya yah?" seorang wanita seumuran ibu mertuaku menyapa, dengan wajah yang dihiasi senyum.

Matanya yang agak sipit itu mengerjap. Lalu mengulurkan tangannya.

"Nak Surya lupa?"

Aku menyambut uluran tangannya. Lalu mencium dengan takzim. Siapa? Mata sipitnya, seperti milik Anatasya. Yah ampun. Dia mantan mertuaku.

Wajar saja aku lupa dengan beliau. Selama hidup dengan Anaya, mungkin hanya tiga kali aku bertemu dengannya. Sejauh itu hubungan aku dengan keluarga Anaya. Wajar saja, setelah berpisah dan berusaha mencari, aku sangat kesulitan menemukan mereka.

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang