Bab 16

6.6K 284 2
                                    

Sepintas lalu, ingin rasanya aku membalas atas apa yang sudah di lakukan pria itu kepadaku.

Aku menangis di dalam mobil. Menyetir dengan pelan, sambil menikmati luka lama yang tergores lagi.

Kedua telingaku berdenging, mengingat kembali teriakan pria itu. Sampai kalimat penyangkalan yang dia teriakan dengan lantang. Di bawah kolong langit, dan di saksikan Allah, Tuhan yang menganugerahkan kami untuknya. Sebagai keturunannya.

Air mataku terus berderai. Ternyata, aku belum sepenuhnya sembuh, ya Allah. Sakitku masih mengikutiku hingga sekarang.

Aku usap dadaku yang sesak. Sembuh Aluna. Sembuh. Lepaskan. Ikhlaskan. Biarkan berlalu. Kuat. Kalahkan sakit itu dengan tulus hatimu, menerima semua yang terjadi dalam hidupmu, meyakininya, sebagai keputusan Tuhan yang paling adil.

Kuusap wajahku yang bersimbah air mata. Berhenti di lampu merah, aku mengambil tissu basah. Membersihkan wajahku. Dan memoles dengan bedak.

Sebentar lagi aku sampai di rumah. Jangan sampai bunda lihat wajahku. Apalagi di rumah sekarang ada pertemuan bisnis.

***

Selama di rumah sakit, aku berusaha menghindar dari pria itu dan keluarganya. Aku tau, dia berusaha mencari perhatianku. Mengajakku minum kopi dan mentraktirku.

Aku selalu menolak dengan sopan. Yah. Saat aku lebih mengikhlaskan segalanya, sakit itu tidak ada lagi, saat aku bertemu dengannya.

Aku malah merasa kasihan padanya. Mungkin masalah dalam keluarganya terlalu serius, sehingga anaknya, sampai melakukan percobaan melenyapkan diri sendiri. Miris.

Di rumah sakit, beberapa perawat begitu heboh menceritakan warung bakso mercon yang baru buka di seputaran restoran seafood langganan kami. Aku ingat, bunda suka makan bakso sama seperti aku.

Aku gak langsung pulang. Mobil kupacu ke toko kue bunda. Dari jauh aku bisa lihat, geng sosialita yang biasa nangkring di sana, lagi merayakan ulang tahun.

Terlihat dari kue strowberry tiga tingkat buatan bunda, yang ada di meja. Aku langsung masuk ke ruangan bunda, dari pintu samping.

Bunda setuju makan bakso bareng aku. Saat kami mau masuk mobil, tiba-tiba, wanita itu, istri dari pria yang mengaku diri sebagai ayahku, mendekatiku dengan gaya angkuh.

Dia memang cantik. Dandanannya modis. Terlihat jika dia rajin perawatan. Yang aku herankan, wanita yang seumuran bunda itu, bertingkah seperti abg labil, yang baru mengenal dunia.

Dengan tidak sopan, dia menyebut bunda pelayan cafe, dan memintaku bertanggung jawab atas kelumpuhan anaknya.

Kutatap dia dengan pandangan meremehkan, dari ujung rambut, sampai ujung kaki. Apa wanita ini yang di tukar pria itu dengan bundaku? Ck! Mereka sangat jauh berbeda. Bagaikan berlian dan kerikil di jalanan becek.

Apalah arti kecantikan, jika kelakuan seperti orang hutan. Aku tersenyum sendiri, saat melamunkan, wajah wanita ini di sandingkan dengan orang hutan.

Dari perkataan tidak sopan wanita ini, aku tau, jika pria itu berusaha mendekatiku, karena ingin sumsum tulang belakang untuk anaknya yang lumpuh.

Apa salah, jika aku bersorak gembira dalam hati? Apa salah jika aku bilang. Rasain lo. Emang enak? Buang anak cacat, dapet anak cacat.

Dia memaksaku dengan mengancam. Jika tidak mau jadi pendonor, maka, pria itu tidak akan menjadi wali nikah bagiku.

Aku jawab saja. "Kalau begitu, saya hanya perlu untuk tidak menikah kan?"
Ada Arga. Arga bisa menjadi wali bagiku, jika dia tidak mau. What ever. Aku tidak risau sama sekali tentang pernikahan. Masih sangat lama. Aku harap, di saat waktu berjalan dalam penantian imam untukku, dia sudah mati.

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang