Bab 22

6.3K 284 2
                                    

Tolong Maafkan Ayah 22

Peganganku mengendur dari daun pintu. Aku masih sempat mendengar suara orang menjerit, memanggil namaku. Semuanya gelap. Aku pingsan.

Samar terdengar suara berisik di sekitarku. Aku terbangun karena mendengar teriakan Talita. Ada apa dengannya?

Bau obat menyeruak masuk indera penciumanku. Mataku yang baru saja terbuka, melihat ruangan yang di dominasi warna putih. Ini pasti rumah sakit.

"Mas, kamu udah sadar," Talita menghentikan celotehannya, lalu mengalihkan perhatian kepadaku.

"Kamu bawa aku ke rumah sakit?" lirihku.

"Aku ditelepon sama Hilda. Kamu katanya pingsan di depan pintu, ada polisi juga di sana. Ada apa Mas?"

Oh. Jadi jeritan tadi, dari Hilda?
Aku menarik nafasku. Sesak kembali membuatku susah bernafas. Tenggorokanku tercekat. Pusing kembali mendera.

"Mas," panggil Talita.

"Kamu bisa ke kantor polisi sekarang Talita? Biar aku di sini, sendirian aja. Virgo asa di kantor polisi. Dia ditahan karena diduga, ikut mengedarkan narkoba," suaraku pelan, menjelaskan kepada Talita.

Sesaat, Talita bergeming. "Gak mungkin Virgo terlibat, Mas. Anak itu masih kecil. Mana tau dia kejahatan kek gitu. Taunya kan main aja," omel Talita.

"Seusia Virgo, kamu bilang masih kecil? Anggapan kamu ini, yang membuat Virgo jadi manja dan beringas Talita." Aku mulai emosi.

Wajahnya ditekuk. "Kalo memang sebegitu seriusnya kasus Virgo, aku gak mau kesana sendiri. Kamu juga harus ikut Mas. Kata dokter, kamu gak sakit apa-apa kok. Cuma syok berat aja. Mental kamu yang bikin kamu drop. Ya udah. Ayo pergi. Bisa bangun gak?"

Ah. Wanita ini, selain menghabiskan uangku, apa gunanya dia? Aku memang tidak diinfus. Tapi, tidakkah dia merasa kasihan sedikit saja, pada suaminya ini?

Aku mencoba bangun. Tubuhku terasa kaku. Berat di kepala. Berat di hati. Sebenarnya, aku juga enggan ke kantor polisi. Anak itu akan membuatku malu.

Mudah-mudahan, tidak ada rekan bisnisku, yang tau berita ini. Aku takut, masalah Virgo, berpengaruh pada usahaku.

Mengharap anak-anak akan berhasil, malah kesialan yang aku dapatkan. Entah berapa banyak uang, yang akan aku keluarkan untuk kasus ini.

"Kalo, sampe bener Virgo terlibat, aku gak akan mengusahakan apa-apa, Talita. Biarkan dia ditahan. Siapa tau di penjara, dia bisa introspeksi diri, dan segera sadar."

Tatapan mata dari Talita, menjelaskan, bahwa dia keberatan. Ah. Terserah. Mau marah, silahkan. Itu sudah menjadi keputusanku.

"Gak bisa begitu dong, Mas. Kamu gak kasihan apa, sama anak sendiri. Udah kewajiban kamu, sebagai orang tua, untuk membereskan masalah anak-anakmu."

"Kamu pikir, kasus narkoba itu, kasus biasa? Ini adalah tingkat kejahatan nomor satu di negara ini. Hukumannya, mati Talita. Mati!"

"Ini semua gara-gara kamu Mas. Coba aja kalo kamu, gak bangkrut, pasti kejadiannya gak akan begini. Kamu sih. Kerja kamu itu gimana sih Mas? Aku heran deh sama kamu."

Aku menatap Talita. Kata orang, istri adalah, hati pertama yang bisa dipercaya oleh seorang suami. Istri adalah belahan jiwa dari seorang suami. Istri adalah separuh dari nafas seorang suami.

Jika suami sakit, dia akan merasakan sakit itu juga. Jika suaminya gundah, dia yang akan menghiburnya. Jika suami terpuruk, istrilah yang akan setia menemani, dan memegang tangannya supaya tetap kuat.

Aku baru sadar sekarang, hal itu tidak aku dapati dari Talita. Dia hanya bisa merongrongku, dengan semua hal yang menimpa kami. Aku sendiri. Aku seperti tidak memiliki teman hidup, untuk berbagi semua resah dan sakitku ini.

Tolong Maafkan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang